Page 19 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 19
HUBUNGAN INDONESIA DAN JEPANG DALAM LINTASAN SEJARAH
Pengertian dasar kita mengenai prinsip universalitas yang sering diagungkan
oleh semua orang tiba-tiba menjadi relatif. Hal ini disebabkan prinsip universitalitas
dalam situasi-situasi tertentu, di dalam konteks tertentu, untuk kalangan tertentu,
tidak selalu dapat dibenarkan.
Ada pertanyaan yang akan terus muncul. Tugas sejarawan adalah membuat
debat publik menjadi lebih mempunyai dasar informasi yang kuat, sehingga terjadi
well informed decision. Terjadi pencapaian dengan bukti-bukti yang terus
bertambah dari waktu ke waktu, yang bisa membuka pikiran kita. Inilah menurut
hemat saya tugas sejarawan. Dengan latar belakang itu saya masuk ke persoalan
pertama, historiografi.
Selama ini fokus kita mungkin hanya pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia, antara 1942 sampai Agustus 1945. Padahal hubungan ini sudah jauh
panjang terjalin. Kita mempertemukan dua arus penting, 110 tahun hari
Kebangkitan Nasional, yang terjadi pada tahun 1908 ketika Budi Utomo didirikan
dan Hubungan Indonesia Jepang. Jangan lupa bahwa para pendiri bangsa kita mulai
mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, pada awalnya diilhami oleh
kemenangan Jepang terhadap Rusia pada tahun 1905. Kalau kita baca koran-koran
pada masa itu, ternyata berita tentang orang Asia bisa mengalahkan orang Eropa,
disampaikan ke mana-mana, sampai Manchuria dan Semenanjung Korea. Hal ini
yang terus ditanamkan dari waktu ke waktu dalam berbagai bentuk
Mungkin sebagian dari kita paham juga bahwa saat inipun kita sangat
dipengaruhi, bahkan terinspirasi pada ide-ide yang berkembang di Jepang, sebuah
negeri yang modern, meski tetap bepijak pada tradisi yang tetap hidup di dalam
masyarakat.
Dalam seminar nanti akan disampaikan makalah tentang seni rupa Indonesia.
Kita bisa melihat, orang-orang seperti Sudjojono seperti mendapatkan tempat yang
baru, di tahun 1942-1945. Hal ini tidak mungkin ditemukan pada masa kolonial
yang hirarkis. Tiba-tiba orang-orang ini mendapatkan kesempatan untuk
mengekspresikan diri secara langsung dalam bahasa yang mereka miliki.
Dalam dunia sastra Indonesia, Chairil Anwar muncul dalam bahasa yang lebih
lugas jika dibandingkan dengan Pujangga Baru. H.B. Jassin mengatakan, bahwa apa
yang dikatakan oleh Pujangga Baru dalam dua ratus halaman, selesai dalam dua
kalimat oleh Chairil Anwar. Karena begitu lugas dan ringkasnya, langsung menusuk.
Hal ini tidak mungkin, bila tidak ada situasi perubahan masa zaman ini. Pertanyaan
etikanya, apakah kita harus berterima kasih kepada Jepang yang sudah datang
menghilangkan kolonialisme dalam hitungan hari?
10