Page 46 - MAJALAH 89
P. 46
Liberalisasi dan Mahalnya
Biaya Pendidikan Kedokteran
Terkait dengan liberalisasi dan ma-
halnya biaya pendidikan kedokteran, panturanews.com
Hetifah mengatakan, tiap perguruan
tinggi dapat membuka fakultas ke-
dokteran selama yang bersangkutan
peminatnya banyak. Dia melanjut-
kan, peminat umumnya berasal dari
kelompok masyarakat menengah ke
atas.
Di Indonesia, jelasnya, saat ini un-
tuk menjadi dokter memang diperlu-
kan biaya yang tidak sedikit. Sekitar Rp
200 - Rp400 juta untuk biaya masuk
dan kira-kira Rp 70 juta-an/semester.
Perhatian pemerintah yang belum
maksimal, kata Hetifah, praktis mem-
buat biaya pendidikan untuk menjadi Suasana Rumah Sakit
seorang dokter tetap selangit. “Hal ini
jelas membatasi peluang masyarakat Dia menambahkan, untuk menja- tentang psikometri agar lulusan pen-
golongan menengah ke bawah atau min lulusan yang pendidikan kedok- didikan kedokteran selain memiliki
miskin untuk menyekolahkan anaknya teran yang berkualitas dan memiliki profesionalitas juga dedikasi sebagai
menjadi dokter,” tegasnya. dedikasi tersebut, calon mahasiswa tenaga kesehatan yang siap ditem-
Biaya mahal ternyata tidak men- kedokteran akan diseleksi secara patkan di daerah manapun di seluruh
jamin kualitas dokter di Indonesia khusus. “Dan dalam prosesnya tidak Indonesia.
memenuhi standar tinggi. Karena de- boleh ada diskriminasi dalam bentuk Selanjutnya, menyusun sebuah
ngan biaya semahal itu, jelas Hetifah, apapun,” himbuhnya. kurikulum berbasis kompetensi. Pen-
standar pendidikan kedokteran di Jadi Undang-Undang Pendidikan gaturan dan implementasi mengenai
Indonesia masih tetap di bawah stan- Kedokteran prinsipnya adalah mende- evaluasi, sertifikasi, dan akreditasi,
dar internasional. “Dokter kita belum sain pemerintah untuk menjalankan serta penerapan outcome based edu-
bisa langsung berpraktek di Rumah tanggungjawab di bidang kesehatan cation untuk menunjang kebutuhan
Sakit Internasional, karena tidak me- dan mencari solusi atas persoalan- di hilir, tambahnya.
menuhi standar kualitas yang ditetap- persoalan yang ingin disasar oleh UU Hetifah Sjaifudian berharap, de-
kan,” tuturnya. Pendidikan Kedokteran. Misalnya, ngan Undang-Undang Pendidikan
Atas dasar pemikiran itulah, Heti- memeratakan akses dan kesempa- Kedokteran ini anak-anak miskin juga
fah Sjaifudian berpandangan bahwa tan bagi daerah maupun masyarakat bisa menjadi dokter, dan mereka yang
negara sudah semertinya mengambil miskin dan marjinal untuk turut me- berada di daerah terpencil, perbatasan
alih untuk menjamin kualitas dokter miliki dan mengenyam pendidikan atau pedalaman bisa dilayani dokter
di Indonesia. “Bahkan, negara harus kedokteran. yang bermutu.
dapat mengatur pendidikan kedok- Penerimaan mahasiswa kedokter- “Jadi intinya dalam RUU tentang
teran ini gratis, supaya semua lapisan an, lanjutnya, harus menjamin adanya Pendidikan Kedokteran ini ada suatu
masyarakat memiliki kesempatan kesempatan bagi calon mahasiswa payung hukum yang bisa mengatur
yang sama,” paparnya. dari daerah sesuai dengan kebutu- bagaimana supaya pendidikan kedok-
Kedepan, lanjut Hetifah, pendidi- hannya, kesetaraan gender, dan ma- teran ini bisa lebih terbuka dan bisa di
kan kedokteran akan bersifat kedina- syarakat berpenghasilan rendah. “Hal akses oleh siapa pun. Dan kita ingin
san. Ini untuk menjamin keterpenuhan ini dapat dilakukan dengan pemberian siswa-siswa yang dihasilkan adalah
daerah akan tenaga kesehatan, teru- beasiswa dan bantuan biaya pendidi- siswa-siswa yang berkualitas agar
tama dokter. “Selama ini dokter-dok- kan akan disediakan melalui ikatan di- dapat bersaing dengan kualitas dari
ter kita sering keberatan jika bertugas nas dan beasiswa bersyarat afirmasi,” dokter-dokter asing yang berpraktek
di daerah. Dengan pendidikan ikatan jelas Hetifah. di rumah sakit internasional yang ada
dinas, dokter-dokter itu di tuntut un- Kemudian, lanjutnya, memasukkan di Indonesia,” imbuhnya.(iw)/foto:iw/
tuk mengabdi dimanapun ditugaskan dalam proses seleksi maupun kuriku- parle.
sesuai dengan kebutuhan,” tegasnya. lum pendidikan kedokteran materi ***
| PARLEMENTARIA | Edisi 89 TH. XLII, 2011 | 7