Page 58 - MAJALAH 105
P. 58

dia kalah, dia jual jam tangannya.
                                                                             Saya  beli  dengan  harga  10  ribu,
                                                                             kemudian saya jual kembali dengan
                                                                             harga 15 ribu, jadi saya untung lima
                                                                             ribu,”kisahnya.

                                                                               Kehidupan  di  sekitar  terminal
                                                                             dan stasiun dianggap Arif memang
                                                                             cukup  keras.  Namun  untungnya
                                                                             ia  masih  sadar  dan  ingat  akan
                                                                             pesan  ibundanya,  untuk  terus
                                                                             melanjutkan sekolah. Hal itulah yang
                                                                             membedakan Arif dengan “preman”
                                                                             atau penghuni terminal dan stasiun
                                                                             lainnya. Dari penghasilannya itulah
                                                                             yang membuat Arif dapat bertahan
                                                                             hidup,  survive,  dan  sedikit  demi
                                                                             sedikit dapat membantu membiayai
                                                                             sekolah ketiga adiknya.
                                                                               “Kata pengantar Ibu saya selalu
                                                                             begini,  berbaiklah  oleh  semua
                                                                             orang. Kita ini orang tidak punya,
                                                                             ibu  bekerja  supaya  kalian  bisa
                                                                             sekolah.  Modal  kalian  itu  untuk
                                                                             hidup itu hanya sekolah. Pinterlah
                                                                             dan  bergaul  dengan  banyak
                                                                             orang tapi kalian tetap harus bisa
                                                                             membedakan mana yang baik dan
                                                                             tidak. Saya hanya bisa sekolahkan
                                                                             kalian hingga tingkat SLTA, setelah
                                                                             itu kalau mau kuliah kalian harus
                                                                             membiayai sendiri,”kisah Arif.

          ketika itu sang ibu hanya seorang  seperti menjadi supir, calo, makelar   Dengan kata lain, tanpa disadari
          buruh pabrik, sementara menurut  dan sebagainya.                   sang ibu mengajarkan bahwa hanya
          Arif,  ayahnya,  Slamet    Santoso                                 diri sendirilah yang bisa  menjamin
          meninggalkan ia dan ketiga adiknya   Arif memulainya lewat pergaulan  kehidupan  di  masa  mendatang,
          sejak  ia  kecil.  Sehingga    dapat  dengan tukang becak. Saat tukang  bukan orang lain. Orangtua hanya
          dibayangkan bagaimana sulitnya  becak itu istirahat dan becaknya  bisa memberikan arahan. Berbekal
          sang  ibu  mengatur  uang  upah  tidak  dipakai,  Arif  meminta  ijin  nasehat  dari  sang  ibu  itulah,
          bekerjanya yang hanya sekitar dua  untuk bisa menarik becak tersebut.  Arif  mencoba  menyeimbangkan
          atau tiga ribu setiap harinya untuk  Namun, saat tak ada becak yang bisa  pengetahuan  sosialnya  yang  ia
          membiayai  berbagai  keperluan  dipinjam, Arif pun berlari ke dalam  dapat lewat pengalaman dengan
          keluarganya.                     terminal dan stasiun untuk menjadi  kemampuan akademik yang di dapat
                                           calo. Calo yang dimaksud Arif ini  dari bangku sekolah.
           Kondisi demikian tak ayal mem-  hanya membantu calon penumpang
          buat  Arif  harus  ikut  berjuang  untuk mendapatkan tiket, namun    Setelah sibuk bekerja di sebuah
          meringankan beban sang ibu. Ter-  ia tidak menaikkan harga tiketnya.  pabrik seharian, menjelang Adzan
          le bih lagi posisinya sebagai anak  Jadi ia hanya mendapat kelebihan  Magrib  berkumandang  sang  ibu
          sulung. Rumah Arif di kelurahan  yang diberikan calon penumpang  selalu  menyempatkan  diri  untuk
          Ororombo, Madiun yang berdekatan  tersebut. Cara itu dinilai Arif lebih  mengumpulkan ke empat anaknya.
          dengan terminal, langsung menarik  barokah untuk hidupnya.         Selain  mengajarkan  untuk  tidak
          perhatian Arif muda untuk mengais                                  melupakan sholat lima waktu, sang
          rejeki disana. Kebetulan sebagian   “Malah  saya  pernah  nungguin  ibu  tak  lelahnya  mengingatkan
          besar  tetangga  Arif  pun  yang  orang judi. Cara hidup orang judi  keempat anaknya.
          notabene merupakan masyarakat  kan kalau sudah kalap apa saja dijual,
          pinggiran  itu  menggantungkan  ada  anak  orang  kaya  suka  main
          hidupnya  dari  sektor  informal  judi, jadi saya tungguin nanti kalau


          58 PARLEMENTARIA  EDISI 105 TH. XLIII, 2013
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63