Page 308 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 308
Land Grabbing: Bibliografi Beranotasi 283
mengintegrasikan antara usaha budidaya dan usaha pengolahan.
KPPU melihat bahwa potensi terjadinya praktek oligopsoni terhadap
pekebun dan atau praktek oligopoli terhadap pasar hilir perlu diawasi
secara terus menerus.
Hasil investigasi lain yaitu mengenai kebutuhan pabrik
pengolahan kelapa sawit di Indonesia masih cukup besar. Dengan
asumsi per 6.000 ha lahan sawit membutuhkan kapasitas pabrik
pengolahan 30 ton TBS/jam, maka dengan luasan lahan saat ini
yang mencapai 5,9 juta ha idealnya dibutuhkan PKS dengan total
kapasitas 29.860 ton TBS/jam. Kapasitas yang terpasang saat ini
totalnya diperkirakan baru mencapai kurang lebih 24.268 ton/
jam, sehingga masih dibutuhkan kurang lebih setara dengan 186
unit PKS dengan kapasitas 30 ton TBS/jam. Fenomena masih
terdapatnya kapasitas terpasang yang belum terpakai (idle) dari
pabrik kelapa sawit yang telah beroperasi sebelumnya (incumbent),
menurut KPPU, telah dijadikan oleh incumbent dan instansi teknis
pemerintah untuk ‘menghambat’ laju pertumbuhan pasar usaha
pengolahan tandan buah segar sawit yang dalam pengusahaannya
tidak mengintegrasikannya dengan pasar usaha budidaya tanaman
sendiri (PKS-TK). Pembangunan kapasitas terpasang yang
berlebihan ataupun pendayagunaan kapasitas terpasang yang
tidak optimal merupakan bagian dari dinamika pasar, bahkan
dalam kondisi tertentu hal tersebut merupakan bagian dari strategi
incumbent untuk menghambat masuknya pelaku usaha potensial ke
dalam pasar bersangkutannya.
Mengenai kemitraan usaha, KPPU menemukan bahwa
meskipun perkebunan rakyat memiliki luasan lahan 33% dari total
perkebunan sawit nasional, namun tingkat ketergantungan mereka
terhadap industri pengolahan kelapa sawit sangat tinggi. Struktur
oligopolistik di industri pengolahan kelapa sawit menyebabkan
tingkat keseimbangan pasar dikendalikan oleh sisi permintaan
(pengusaha pengolahan TBS sawit) daripada sisi penawaran (pekebun
sebagai produsen TBS sawit).Masih menurut KPPU, kinerja kemitraan
dengan pola PIR yang selama ini terjadi menunjukkan posisi tawar
pekebun tidak sebanding dengan perusahaan inti (unequal bargaining
power). Pekebun plasma kerapkali dirugikan dalam hal timbangan,