Page 49 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 49

24    Dwi Wulan Pujiriyani, dkk


            terdegradasi, terlantar, tanah tak bertuan, ’idle’, ’waste’, ’unproductive,
                                          5
            public’, ‘surplus’, ‘vacant’,‘unused’ .  Mengacu pada konsep Anna Tsing
            seperti dikutip Li (2012) inilah yang kemudian disebut dengan tradisi
            investasi ‘pinggiran’,  sebuah  mitos  kultural tentang ‘peruntungan’
            dan  ide  tentang wilayah  yang kosong bisa  membawa  keuntungan
            yang berlimpah. Hal ini pula  yang disinggung Baka  (2012) dengan
            menyebutkan  bahwa  konsep  tanah  marginal merupakan  elemen
            sentral dalam  debat  mengenai land grab  karena  dianggap  sebagai
            obat  mujarab  bagi berbagai penyakit  lingkungan, ekologis, dan
            pembangunan   ekonomi bagi negara-negara  miskin. Akuisisi tanah
            dianggap sebagai bagian dari upaya mendayagunakan tanah-tanah
            dalam kategori ini agar bisa lebih produktif dan bermanfaat.

                Mengacu pada White (2012) negara bekerja dalam menginisiasi
            kebijakan  dan  administrasi di seputar  konsep  ‘tanah-tanah  yang
            marginal’ serta memfasilitasi investasi tanah yang meliputi invensi/
            justiikasi; deinisi, reklasiikasi,  kuantiikasi;  identiikasi; akuisisi/
            pengambilalihan dan realokasi atau disposisi. Semua ini digunakan
            untuk  mentransformasikan  sumberdaya  (sebagian  besar  dalam
            kendali negara) menjadi faktor  produksi yang produktif  untuk
            memperbarui investasi skala  luas  yang berbasis  tanah. Selain
            identiikasi ini, akuisisi tanah  juga  disebut  sebagai jawaban  atau
            solusi dari krisis  yang terjadi.  Kedua  narasi inilah  yang menjustiikasi
            terjadinya  land grabbing  dan  menempatkannya  sebagai sebuah
            ‘kebutuhan’ dan ‘keharusan’. 6




            5   Tanah-tanah dalam kategori ini pada kenyataannya merupakan tanah
                yang sedang didayagunakan oleh pihak lain baik langsung maupun tidak
                langsung untuk kegiatan rumah tangga, usaha kecil, penggembalaan,
                maupun areal ladang berpindah. Namun semua kategori pemanfaatan
                ini dilihat  kurang memiliki nilai ekonomis, sehingga  tidak  cukup
                layak  disandingkan  dengan  maksimalisasi keuntungan  dalam  skema
                investasi tanah-tanah pertanian untuk pengusahaan lex crop  maupun
                kepentingan bisnis yang lain
            6   Fakta  menunjukkan  bahwa  meskipun  pemerintah  memiliki mandat
                yang jelas  untuk  melindungi hak  adat  pada  level negosiasi yang
                berbeda  (potret  tanah, pemberian  ganti rugi dan  kesepakatan
                negosiasi antara  komunitas  dan  investor), proses  yang seringkali
                menghasilkan  check and balances  ini ternyata  bertentangan  dengan
   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54