Page 129 - Hak Atas Tanah bagi Orang Asing
P. 129

106   FX. Sumarja


            penduduk  Indonesia) itu merupakan  perbuatan  yang  terlarang.
                Pengasingan  secara  tidak  langsung    terjadi  dengan  jalan
            penyelundupan  hukum.  Penyelundupan  hukum  menggunakan
            “kedok”  atau  “strooman”,.  Cara  pengasingan  tanah    ini  sering
            disebut  sistem strooman,  atau sistem Ali Baba. Orang Indonesia
            berkedudukan sebagai  kedok atau  strooman. Contohnya  seorang
            bukan orang Indonesia, yaitu orang Tionghoa membeli  tanah dari

            orang  Indonesia,  tetapi jual-beli  itu dilakukan  atas nama  isterinya
            (orang Indonesia) yang  dikawininya  (tidak resmi).  Isterinya  itu
            yang sesungguhnya  hanya merupakan  kedok, disuruhnya memberi
            kuasa sepenuhnva  kepada orang Tionghoa untuk mengurus  segala
            sesuatu mengenai    tanah  yang   telah  dibelinya  itu,  sehingga  di
            dalam praktiknya  yang berkuasa  sepenuhnya  ialah orang Tionghoa.
            Praktik  demikian  dalam  kenyataannya   orang  Tionghoa  itulah

            yang memiliki  tanah tersebut, hanya resminya saja atau  formalnya
            saja yang membeli isterinya yang  tidak sah itu. Pengasingan tanah
            semacam  ini terlarang  juga.
                Menurut Sudikno Mertikusumo terdapat  empat cara peralihan
            tanah milik bangsa  Indonesia kepada bukan bangsa Indonesia, yaitu
            perkawinan campuran,  pewarisan  abintestato,  perubahan status,

            dan naturalisasi. 19
            1)  Perkawinan  campuran  antara perempuan bangsa  Indonesia
                dengan  laki-laki bukan bangsa  Indonesia, maka perempuan
                bangsa  Indonesia itu mengikuti  status  suaminya di semua

                lapangan. Ia lalu berubah menjadi  bukan bangsa  Indonesia.
                Akibat  perkawinan    itu  terjadilah  percampuran    harta,  maka
                suaminya  bukan bangsa  Indonesia  ikut pula memiliki  tanah
                milik  isterinya.



            19  Sudikno  Mertokusumo,  Perundang-undangan  Agraria...,  Ibid.,  hlm.
                9-10; lihat juga Sudargo Gautama, Hukum Agraria..., Op. Cit., hlm. 58-
                60.
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134