Page 133 - Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat
P. 133
Nur Aini Setiawati
wa tanah, pengurangan kerja wajib penduduk, serta per-
baikan aturan pemindahan hak atas tanah.
Penghapusan sistem apanage (lungguh) di Yogyakarta
dilakukan 1917. Dengan dihapuskannya sistem apanage, para
pemegang tanah lungguh baik para kerabat keraton maupun
priyayi yang memiliki jabatan istana diberi gaji berupa uang
dan bukan di beri tanah sebagai pengganti lungguhnya.
Konsekuensi kebijakan itu adalah para pejabat istana dan
para priyayi (birokrat kerajaan) pemegang tanah lungguh, kehi-
langan penguasaan dan pengelolaan tanah. Mereka hanya
diberi tanah yang mereka pakai sebagai tempat tinggal,
sedangkan sebagian besar tanah lungguhnya harus dise-
rahkan kembali kepada sultan. 4
Pada mulanya, tanah yang digunakan sebagai tempat
permukiman merupakan wilayah kekuasaan kasultanan dan
secara mutlak merupakan milik sultan. Meskipun tanah itu
dikerjakan dan dijadikan tempat permukiman oleh pen-
duduk, tetapi sebagian hasil tanah merupakan hak kasultanan
yang wajib diserahkan kepada sultan. Dengan demikian,
penduduk hanya memiliki hak pakai dan tidak mempunyai
hak milik atas tanah tersebut. Dengan diberi tanah hak pakai,
penduduk dituntut untuk tetap loyal kepada sultan dan patuh
sebagai pemegang lungguh yang menjadi tuannya dengan
kewajiban menyerahkan hasil tanah dan tenaga kerjanya.
Hak milik tanah kasultanan telah diakui oleh rakyat men-
jadi kekuasaan sultan, sehingga sultan memiliki wewenang
4 Rijksblad van Djokjakarta Tahun 1918, no. 16 (Djokja: Mardi
Moeljo, 1918).
114