Page 148 - Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat
P. 148
Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat
bungan dengan persewaan, jual beli, gadai, dan sebagainya.
Pada 1925, dengan adanya perubahan hukum tanah
(reorganisasi agraria) di Kota Yogyakarta, semakin banyak
persoalan dan perkara-perkara yang ditangani Pengadilan
Keraton Darah Dalem, seperti perkara-perkara antar rakyat
(wong cilik) dengan kaum bangsawan (wong gedhe). Lingkup
pekerjaan pengadilan dibatasi hanya untuk urusan-urusan
dan perkara tanah yang tidak menyangkut persoalan tanah
apanage karena tanah apanage dihapuskan sejak tahun 1917. 22
Sistem apanage bagi priyayi dan abdi dalem di kasultanan
dihapus melalui reorganisasi tanah, dan sebagai gantinya
mereka diberi gaji dalam bentuk uang. Di samping dihapus-
nya tanah apanage akibat lain dari reorganisasi tanah adalah
terbentuknya penduduk yang mempunyai hak milik atas
tanah. Mereka dapat memiliki kebebasan terhadap tanah
mereka. Mereka dapat memakai, menggadaikan, menghi-
bahkan, mewariskan, maupun menjualnya. Penduduk
memiliki status hukum tanah yang lebih jelas dan lebih kuat,
meskipun hak pemilikan tanah itu tetap diatur dalam pera-
turan-peraturan kasultanan. Peraturan-peraturan itulah yang
menyebabkan penduduk memiliki keterbatasan hak atas
tanah, dan penyimpangan terhadap peraturan-peraturan
itulah yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah di Kota
Yogyakarta.
Pada dasarnya, proses pelimpahan status penguasaan
dan pemilikan tanah melalui reorganisasi agraria dalam
penanganannya banyak mengalami kesimpangsiuran.
22 Lihat lampiran 3.
129