Page 20 - Prosiding Agraria
P. 20
Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Reforma Agraria dalam Penyelesaian 5
Pertanahan di Pengadilan Landreform
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (AA Muhammad
Insany Rachman, 2023: 44).
Selama tahun 2020, tercatat ada minimal 241 kejadian konflik agraria karena tindakan
perampasan lahan dan pengusiran yang terjadi. Konflik telah menyebar ke 359 kampung/
desa, menimpa 135. 337 kepala keluarga di lahan seluas 624. 272,711 hektar di semua daerah
Republik Indonesia. Sebagian besar sektor mengalami dampak dari letusan konflik tersebut.
Perkebunan adalah faktor utama yang memicu konflik agraria dengan jumlah 122 kasus, diikuti
oleh sektor kehutanan (41 kasus), pembangunan infrastruktur (30 kasus), bisnis properti (20
kasus), pertambangan (12 kasus), fasilitas militer (11 kasus), pesisir dan pulau-pulau kecil
(3 kasus), serta agribisnis (2 kasus). Selama periode dari akhir tahun 2020 hingga triwulan
pertama 2021, terdapat 30 provinsi yang mengalami konflik agraria, di mana Pulau Sumatera
menjadi daerah yang paling banyak terlibat dalam konflik tersebut. Provinsi yang paling
banyak terjadi konflik agraria adalah Riau dengan 29 kasus, diikuti oleh Jambi (21), Sumatera
Utara (18), Sumatera Selatan (17), dan Nusa Tenggara Timur dengan 16 kasus. Krisis yang
berlangsung terus menerus di provinsi tersebut menyulitkan para petani, komunitas adat,
nelayan, dan penduduk miskin yang tinggal di daerah yang penuh dengan konflik. Mereka
sedang dihadapkan pada ancaman krisis kesehatan, ekonomi, dan pangan akibat pandemi
Covid-19. Selain itu, mereka juga harus berjuang keras untuk mempertahankan kampung dan
mencari nafkah, bahkan dengan risiko nyawa untuk mempertahankan hak-hak mereka atas
tanah (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2020).
Pengadilan agraria atau pertanahan diatur dalam RUU Pertanahan sebagai lembaga
peradilan khusus untuk menyelesaikan masalah hukum yang berkaitan dengan sengketa
tanah, baik itu masalah perdata, pidana, maupun administrasi negara. Pembentukan
pengadilan agraria menjadi angin segar dalam menyelesaikan masalah konflik agraria.
Menafsirkan konflik agraria sebagai hal yang biasa-biasa saja sudah tidak relevan lagi, karena
telah menjadi isu yang luar biasa. Perubahan paradigma ini terjadi karena dampak besar
yang timbul dari konflik agraria yang terus terjadi. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi
masalah luar biasa ini memerlukan kebijakan dan strategi yang luar biasa pula. Diperlukan
adanya pengadilan khusus yang fokus pada masalah agraria. Keberadaan pengadilan agraria
tidak hanya untuk kepentingan saat ini saja dalam menyelesaikan perselisihan (resolution
conflict), melainkan juga untuk dapat mengurangi dan merencanakan perselisihan agraria di
masa mendatang (prevention conflict) (Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria, 2014: 21).
Pentingnya pengadilan khusus agraria dapat disadari berdasarkan banyak keputusan
yang diberikan oleh pengadilan tersebut. Pengadilan yang terlibat dalam konflik pertanahan,
entah secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang terdapat dalam Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengukuhkan keberadaan hutan adat.
Dalam pertimbangan hukum pada keputusan tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa
hutan adat yang merupakan bagian dari wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum
adat, adalah hasil pengakuan terhadap hukum adat sebagai hukum yang hidup. Sebenarnya,