Page 24 - Prosiding Agraria
P. 24

Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Reforma Agraria dalam Penyelesaian   9
                                                                            Pertanahan di Pengadilan Landreform

             3.  Pasal 129
                  Isi pasal ini menetapkan pengaturan mengenai pengelolaan tanah yang dilakukan oleh

             lembaga bank tanah. Tanah tersebut dapat diberikan Hak Pengelolaan yang berupa Hak Guna
             Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dengan durasi waktu selama
             90 tahun. Walaupun tidak secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja,
             namun jika ditelusuri dengan teliti, periode 90 tahun merupakan hasil dari penggabungan

             berbagai aturan mengenai Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak
             Pakai  yang  memperbolehkan  untuk “memperpanjang”  dan “memperbarui  hak”  sesuai
             dengan ayat (3). Menurut Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang diusulkan kembali
             dalam Undang-Undang Cipta Kerja, konstruksi hukum mengenai pemberian hak atas tanah

             untuk Warga Negara Asing adalah bahwa mereka dapat memperoleh hak atas tanah untuk
             rumah susun di atas HGB dengan jangka waktu 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga
             20  tahun, serta dapat diperbaharui selama 40  tahun. Pemberian jangka waktu ini sangat
             berlebihan, bahkan melebihi batas yang diatur oleh undang-undang kolonial Hindia Belanda

             yang mengatur  tentang  pemberian hak  erfpacht  selama 75  tahun. Seharusnya  pemberian
             HGU tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui usaha
             perkebunan dan pertanian, namun malah dimanfaatkan oleh pihak asing yang menggunakan
             hasilnya  untuk kepentingan negara  asalnya. Prinsip Nasionalisme  yang  diharapkan  oleh

             UUPA menjadi tercemar karena adanya ketentuan tersebut.

                  Undang-Undang Cipta Kerja memperkenalkan konsep  pengelolaan  yang  dianggap
             sebagai hak yang dimiliki oleh Negara dan sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya
             (Pasal  136 Undang-Undang Cipta Kerja jo Pasal  1 Peraturan Pemerintah Nomor 18  tahun
             2021). Menurut Undang-Undang Cipta Kerja, salah satu lembaga yang memiliki hak tersebut

             adalah Bank Tanah (Pasal 136-137). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja,
             selain memperkenalkan kategori hak yang baru, telah mendirikan suatu lembaga pemegang
             hak yang baru bernama Bank Tanah. Lembaga ini bertugas untuk menjalankan perencanaan,
             akuisisi, pemesanan,  manajemen, pemanfaatan  dan  distribusi  lahan untuk  memastikan

             ketersediaan lahan untuk 5 (lima) tujuan: (1) kepentingan publik, (2) kepentingan masyarakat
             (3) pembangunan nasional, kesetaraan ekonomi, (4) penggabungan lahan dan (5) reformasi
             agraria (Pasal 125-126 UU Cipta Kerja).

                  Kemunculan  Bank  Tanah  memiliki potensi untuk  menimbulkan penyalahgunaan
             kekuasaan oleh pemerintah dalam mengelola tanah, meskipun tidak dalam bentuk yang sama

             dengan penjelasan domain. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria,
             disebutkan bahwa setiap tanah di wilayah Indonesia harus dimanfaatkan untuk kepentingan
             sosial, dan pemerintah berhak untuk melakukan pengadaan tanah sesuai dengan kebutuhan
             masyarakat. Namun, dalam regulasi Undang-Undang Cipta Kerja, belum ada ketentuan yang

             jelas tentang standar dan persyaratan bagi Bank Tanah dalam proses akuisisi dan pengelolaan
             lahan (Wahyu Bening dan Ilham Dwi Rafiqi, 2022: 288).
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29