Page 213 - Prosiding Agraria
P. 213

198     STRATEGI PERCEPATAN IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA:
                    MELANJUTKAN PENYELESAIAN PERSOALAN AGRARIA UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

            penyakap, buruh tani (Rolaswati, 2012, dalam Mungkasa, 2020). Sedangkan Krishna Ghimire
            mendefinisikan  reforma agraria atau  landreform sebagai  perubahan  besar dalam struktur
            agraria,  yang membawa  peningkatan  akses  petani miskin  pada lahan,  serta kepastian

            penguasaan (tenure) bagi mereka yang menggarap lahan, termasuk juga akses pada input
            pertanian, pasar serta jasa-jasa dan kebutuhan pendamping lainnya. Menurut Michael Lipton,
            reforma agraria atau disebut juga dengan landreform (dalam beberapa hal istilah ini sering
            identik) adalah  suatu  kegiatan  “legislasi  yang  diniatkan  dan  benar-benar  diperuntukkan
            meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian,

            dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status,
            kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa
            legislasi tersebut”.

                 Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,
            dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan penataan akses

            untuk kemakmuran  rakyat (Peraturan Presiden Nomor 62  Tahun 2023).  Berdasarkan
            Peraturan Presiden ini, reforma agraria yaitu: penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan
            dan pemanfaatan tanah yang dilakukan dengan penataan aset dan penataan akses bertujuan

            untuk kemakmuran rakyat.
                 Berdasarkan beberapa konsep dan pengertian reforma agraria dapat disimpulkan yaitu

            penataan  kembali penguasaan,  pemilikan, penggunaan  dan pemanfaatan  tanah untuk
            mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui penataan aset dan penataan akses.



            2.  Pemberdayaan Masyarakat Menurut Teori Actors
                 Salah satu perspektif yang kerap dipakai dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah
            teori Actors. Dikutip dari artikel “Teori Actors dalam Pemberdayaan Masyarakat” oleh Karjuni
            Dt. Maani, dalam Jurnal Demokrasi (Vol X, No 1, 2011), teori actors dikemukakan Sarah Cook

            dan Steve Macaulay, dalam Perfect Empowerment (1996). Dalam teori Actors, masyarakat
            dinilai  sebagai  subyek  yang mampu melakukan  perubahan  apabila  terlepas  dari  kendali
            yang  kukuh dan mendapatkan  kebebasan  untuk bertanggung jawab atas  ide, keputusan,

            dan tindakan mereka. Cara pandang ini sesuai akronim Actors, yakni authority (wewenang);
            confidence and competence (percaya diri dan kompetensi); trust (kepercayaan); opprtunities
            (kesempatan); responsibilities (tanggung jawab); dan support (dukungan). Dalam kerangka
            kerja teori Actors, pemberdayaan dilakukan dengan menumbuhkan keberdayaan masyarakat
            yang didukung aspek internal dan eksternal. Sementara aktor dalam pemberdayaan adalah

            pemerintah atau organisasi non-pemerintah.

                 Berdasarkan  teori  tentang  pemberdayaan  masyarakat dapat disimpulkan  bahwa
            pemberdayaan masyarakat yaitu kegiatan dengan mengidentifikasi kekuatan dan ketimpangan
            yang ada di  masyarakat dengan  membuat  perencanaan dan  kebijakan yang dilaksanakan
            dengan membangun struktur dan lembaga yang bisa memberikan akses yang sama terhadap

            sumber daya, pelayanan dan kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218