Page 253 - Prosiding Agraria
P. 253
238 STRATEGI PERCEPATAN IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA:
MELANJUTKAN PENYELESAIAN PERSOALAN AGRARIA UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional mempunyai peran strategis untuk
menyukseskan program-program tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 tahun 2023, Reforma
Agraria merupakan program untuk menata kembali struktur penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan
disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia, berdasarkan Pancasila.
Percepatan pelaksanaan Reforma Agraria dilaksanakan melalui legalisasi aset, redistribusi
tanah, pemberdayaan ekonomi Subjek Reforma Agraria, kelembagaan Reforma Agraria, dan
partisipasi masyarakat.
Salah satu bentuk program Reforma Agraria adalah program transmigrasi. Pada era
Orde Baru, program transmigrasi masih berfokus untuk memeratakan persebaran penduduk
dengan mengembangkan daerah pemukiman baru yang masih relatif jarang penduduk. Pada
saat ini pengertian transmigrasi dituntut untuk bertransformasi. Presiden Jokowi, tahun 2014
telah menempatkan urusan transmigrasi sebagai bagian dari urusan di Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Hal ini bermakna, hampir semua wilayah
transmigrasi itu ialah desa dan kawasan perdesaan. Umumnya, peserta transmigrasi atau
transmigran di dominasi dengan warga miskin yang serba kekurangan, baik akses dan kontrol
terhadap sumber daya. Dengan demikian, transmigrasi boleh dimaknai sebagai upaya serius
untuk membebaskan warga miskin untuk menggapai sejahtera sekaligus memajukan wilayah
transmigrasi (Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2020). Harapannya, program
transmigrasi ini dapat mendorong pembangunan daerah dengan memanfaatkan sumber daya
alam dan sumber daya manusia untuk tujuan pemerataan pembangunan.
Provinsi Jambi merupakan salah satu kawasan di Sumatera yang mempunyai nilai
strategis di sektor kehutanan. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) memudahkan para pemilik modal untuk berinvestasi di
Jambi. Hal ini menarik minat perusahaan besar milik swasta maupun pribadi yang bergerak
di sektor perkebunan kelapa sawit. Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang banyak terjadi
pada masa Orde Baru ternyata menyimpan banyak masalah, antara lain masalah penggunaan
tanah ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat, dan proses penerbitan Hak Guna Usaha
(HGU) yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, sehingga menimbulkan konflik sosial.
Menurut catatan akhir tahun 2013 di Provinsi Jambi terdapat 21 kasus konflik sosial yang
dialami oleh masyarakat adat termasuk Suku Anak Dalam (SAD) dan 12 kasus konflik sosial
antara petani dan perusahaan (Yanto, 2019).
Melihat berbagai masalah terkait dengan lahan transmigrasi tersebut terdapat satu
permasalahan yang dapat digarisbawahi sebagai masalah utama yaitu adanya tumpang tindih
atau overlap lahan baik disebabkan karena overlap dengan kawasan hutan, bidang tanah
masyarakat lokal, lahan HGU Perkebunan, tanah adat, maupun tanah-tanah yang sudah
dikuasai oleh pihak lain.