Page 68 - Pengakuan dan Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan
P. 68
Akan tetapi, ironisnya, di tengah tidak aktifnya koreksi
terhadap penunjukan kawasan hutan itu terjadi, tumpang-
tindih perizinan dan penguasaan sehingga memerlukan
kebijakan one map policy, serta persyaratan ketat baik secara
fisik dan yuridis untuk membuktikan klaim masyarakat adat;
munculnya inisiatif masyarakat sipil dalam membantu proses
penguatan klaim yang salah satunya adalah melalui peta tidak
kunjung pula diakui. Banyak kritik telah muncul yang melihat
kondisi negara yang tidak aktif bertindak, namun ketika ada
inisiatif masyarakat yang aktif melakukannya, tetap saja negara
tidak mengakui.
Data pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh JKPP
yang sudah diregistrasi sebagai wilayah adat (Badan Registrasi
Wilayah Adat/BRWA) sampai dengan tahun 2013 adalah seluas
2,4 juta hektar. Data ini telah diserahkan kepada Kepala UKP4
dan Kepala BIG. Tahapan dan tujuan pemetaan partisipatif
yang mereka rumuskan adalah: Pemetaan partisipatif untuk
1) penyelesaian konflik, 2) perencanaan wilayah adat. Hasil
pemetaan dimasukkan dalam registrasi wilayah adat di BRWA
untuk mendapatkan rekognisi.
Akan tetapi peta-peta partisipatif wilayah adat yang
dihasilkan JKPP belum dapat masuk sistem pemetaan resmi
pemerintah. Perpres No.85/2007 mengenai Jaringan Data
Spasial Nasional (JDSN) merupakan rujukan utama dalam
membuat Standar Operasional dan Prosedur (SOP) Pemetaan
Partisipatif yang dibuat oleh BIG. Dalam perpres ini tidak
memungkinkan peta wilayah adat menjadi bagian dalam
JDSN, karena pembuat peta atau wali data tidak menjadi
bagian dari Simpul Jaringan (Pasal 4-5 Perpres 85/2007).
Padahal mandat UU Informasi Geospasial No.4/2011 Pasal
23 angka 1, masyarakat mempunyai hak membuat informasi
geospasial tematik yang dapat menjadi bagian dalam JDSN
untuk dijadikan referensi mengurus hutan Indonesia . Sudah
70
saatnya negara mengakui dan mengakomodir inisiatif dari
70 ibid
Hasil Penelitian dan Pembahasan 61

