Page 207 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 207
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
usianya yang baru beranjak 44 tahun. Di Ngandagan,
Wulandari tinggal bersama anak kedua bernama
Narita dan anak ketiga bernama Darusallam, serta
sorang cucunya yang baru berumur 3 tahun. Cucu per-
tamanya bernama Zahra, adalah anak semata wayang
dari anaknya yang pertama bernama Rahayu
Fitriningrum yang saat ini tinggal dan bekerja di
Jakarta. Sedangkan suami Wulandari, yaitu Daryono
bekerja sebagai penjahit di Jakarta, ikut majikan
seorang Tionghoa. Sang suami pulang ke Ngandagan
sekitar 2 bulan sekali.
Dalam strata sosial di Ngandagan, Wulandari dan
keluarganya termasuk golongan tunakisma. Ia tidak
mendapat tanah buruhan 45 ubin. Menurut penu-
turannya, sejak belum punya rumah, dia sudah men-
daftar untuk mendapatkan tanah buruhan 45 ubin,
namun sampai sekarang dia dan tidak mendapatkan
jatah tersebut, termasuk juga BLT. Menurut penjelasan
pamong desa, dia tidak bisa mendapat tanah buruhan
karena suaminya tidak ada di Ngandagan sehingga
dikhawatirkan tidak ada yang mengolah. Salah satu
syarat penerima sawah buruhan adalah mereka (su-
ami) berdomisili di dalam desa.
Migrasi atau istilah lokalnya adalah merantau sangat
lekat dalam kehidupan bu Wulandari dan kelu-
arganya. Bu Wulandari sendiri, masa kecilnya diha-
biskan di Ngandagan, namun saat sudah lulus SD dan
berusia sekitar 17 tahun, dia merantau ke Palembang.
Sama seperti kebanyakan remaja Ngandagan yang lain,
masa puber adalah masa-masa keinginan merantau
itu sangat tinggi sekali. Mencari pengalaman dan ingin
186