Page 211 - Kondisi dan Perubahan Agraria di Ngandagan
P. 211
Ahmad Nashih Luthfi dkk.
diasuh sejak kecil. Menurut Dewiningrum, seorang
Guru SD di Ngandagan, beberapa anak didiknya yang
diasuh sang nenek, belajarnya agak kurang diperha-
tikan. Pengasuhan nenek/kakek, cenderung dilakukan
secara permisif. Anak sering dibiarkan apa maunya,
yang penting anaknya diam dan tidak menangis,
sehingga semua keinginan cucunya relatif dituruti.
Fenomena ini merupakan salah satu implikasi dari
gejala merantau di Ngandagan.
Suami bu Wulandari bernama Daryono bekerja
sebagai buruh jahit, mengikuti majikan orang Cina di
Jakarta, dan pulang ke Ngandagan dua atau tiga bulan
sekali tergantung kondisi keuangan. Diakuinya bahwa
sebenarnya dia dan suaminya sudah lelah dengan
kondisi merantau seperti ini, dan suaminyapun sering
mencoba untuk tidak merantau, tinggal di Ngandagan
saja. Namun kondisi ini membuat Wulandari menjadi
stress karena kebutuhan keluarga tidak terpenuhi.
Belum lagi seperti diceritakan di awal tadi, berkaitan
dengan dengan tanah 45-an. Sejak dulu Wulandari
sudah berusaha mendaftar, namun sampai sekarang
tidak mendapatkan jatah tanah 45 ubin tersebut, jatah
Bantuan langsung tunai (BLT) juga tidak diperolehnya.
Sambil menangis, diceritakan pula bagaimana pahit
getirnya hidup, karena kesulitan ekonominya. Meski-
pun di Ngandagan ada dua orang kakak lelakinya,
namun mereka tidak peduli dengan kehidupannya dan
kesulitan ekonominya. Kakak pertamanya memiliki
tanah di Karangturi, yang merupakan tanah warisan
orang tua, namun Wulandari tidak tahu menahu sama
sekali ukuran tanah dan digunakan untuk apa. Kakak
190