Page 85 - ESSAI AGRARIA 22.indd
P. 85
Problematika agraria tersebut rentan terjadi akibat
ketidakseimbangan antara luas maupun jumlah tanah dengan
kebutuhan masyarakat terlebih disertai peningkatan jumlah
penduduk. Problematika tersebut dapat diketahui melalui
banyaknya kasus sengketa, konflik dan perkara pertanahan hingga
maraknya mafia tanah yang ada. Realitas di masyarakat pada empat
dekade terakhir memunculkan fenomena sengketa tanah yang
luar biasa seperti sengketa antara masyarakat dengan pemerintah,
masyarakat dengan investor, antar masyarakat, bahkan antar
instansi Pemerintahan (Istijab, 2018). Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil pada
acara Pembukaan Infrastructure Outlook 2022 mengonfirmasi
terdapat 8.000 konflik pertanahan dari 90 juta tanah sengketa yang
terdaftar (Yanwardhana, 2022). Selain itu, menurut Konsorsium
Pembaruan Agraria (2021), pada catatan akhir tahun 2021-nya
menyebutkan letusan konflik agraria mengalami penurunan dari
tahun 2019 dimana tercatat terdapat 207 letusan konflik di 34
provinsi dengan rincian di 507 desa dan kota, meskipun demikian
konflik tersebut memunculkan korban terdampak sebanyak
198.895 Kartu Keluarga (KK) dengan tanah berkonflik kurang
lebih seluas 500.062,58 hektar.
Pada masa pandemi Covid-19 juga tidak menjadi titik
berhentinya praktik perampasan tanah di lapangan sebaliknya
pandemi dijadikan alasan pemulihan perekonomian oleh
pemerintah untuk memperluas aksi ekspansi bisnis dan
pembangunan basis sumber agraria (Konsorsium Pembaruan
Agraria, 2021). Di bawah ini diperjelas sektor-sektor sebagai
penyumbang konflik agraria tertinggi tahun 2021, antara lain: (a)
Sektor perkebunan; (b) Sektor pembangunan infrastruktur; dan
(c) Sektor pertambangan.
74 Akselerasi Peningkatan Kualitas Pelayanan Pertanahan dan Tata Ruang
Menuju Sebesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat