Page 140 - Jogja-ku(dune Ora) didol: Manunggaling Penguasa dan Pengusaha Dalam Kebijakan Pembangunan Hotel di Yogyakarta
P. 140
konsultasi publik sering kali dilakukan bukan oleh pemrakarsa hotel
sendiri, melainkan oleh orang lain, yakni pemilik tanah. Hal ini
diakibatkan karena permohonan IMB hotel sering kali dimasukkan
oleh si pemilik tanah, bukan oleh pemrakarsa hotel yang dalam hal ini
yang mempunyai bangunan hotel tersebut, inilah yang mengakibatkan
sering kali konsultasi publik yang digelar, justru tidak masuk dalam
esensi pentingnya namun hanya untuk melengkapi syarat dokumen
secara formalitas.
Sedangkan dari sisi pengendalian perubahan pemanfaatan tanah
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, melalui
pemberian Pertimbahan Teknis dalam rangka penerbitan Izin
Lokasi dan Izin Klarifikasi belum bisa menjadi regulasi pengendali
yang kuat. Hal ini diakibatkan karena dalam rencana tata ruang
wilayah yang menjadi acuan pun belum dapat secara tegas menjadi
pengendali, seharusnya pemberian izin perubahan pemanfaatan ruang
didasari pada visi jangka panjang dan pada perhitungan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Bukan hanya tunduk pada kepentingan
kelompok tertentu saja.
Secara prosedural dalam proses pemberian izin pembangunan
hotel memang melibatkan banyak instansi maupun SKPD terkait
yang berwenang, namun pemberian izin tersebut seakan-akan tidak
didasari pada pertimbangan dan perhitungan yang matang. Seharusnya
setiap pembangunan yang ada harus memperhatikan kebutuhan
jangka panjang, mengutip pernyataan Marco Kusumawijaya
87
yang menyatakan bahwa hubungan antara bentuk kota dan isinya
memang tak deterministik; namun kota yang nyaman ditinggali akan
87 Kusumawijaya, Marco. (2006). Kota Rumah Kita. Borneo Publica ons: Jakarta.
hal.195
Tantangan Mewujudkan Yogya yang “Seyogyanya” Berhati Nyaman 125