Page 77 - Jogja-ku(dune Ora) didol: Manunggaling Penguasa dan Pengusaha Dalam Kebijakan Pembangunan Hotel di Yogyakarta
P. 77
Problem yang terjadi kemudian yakni bahwa tidak semua
penguasaan tanah di Kota Yogyakarta yang akan digunakan untuk
pembangunan hotel sesuai dengan peraturan yang berlaku tentang
subyek dan obyek Hak Atas Tanahnya (HAT). Dari data permohonan
IMB yang masuk di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta membuktikan
bahwa banyak subyek HAT tidak sesuai dengan Hak Atas Tanahnya,
sehingga termasuk kedalam pengkaburan fakta hukum.
Berbagai cara dilakukan oleh para pemrakarsa hotel demi ter-
laksananya pembangunan hotel, salah satunya yakni dengan meng-
anggap remeh proses konsultasi publik dalam rangka pembangunan
hotel. Dibanyak kasus yang terjadi, konsultasi publik terhadap
masyarakat terdampak pembangunan hotel ini dilaksanakan oleh
pemilik tanah bukan oleh pemrakarsa hotel sendiri. Padahal pemilik
tanah dan pemrakarsa hotel merupakan dua pihak yang berbeda,
sehingga yang terjadi kemudian adalah tidak adanya komunikasi yang
searah yang dilakukan oleh para pemrakarsa hotel kepada masyarat
sekitarnya tentang dampak-dampak dari pembangunan hotel yang
akan dilaksanakan serta upaya-upaya pencegahan yang telah disusun
untuk menanggulangi dampak tersebut. Selain itu, meningkatnya
permintaan akan lokasi pembangunan hotel menyebabkan konfl ik
penguasaan tanah di beberapa tempat, terutama untuk tanah Sultan
Grond, maupun untuk tanah-tanah di pinggiran Sungai Code.
Aktor ketiga, yakni Organisasi Non Pemerintah. Organisasi
non Pemerintah ini dapat berupa Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) maupun organisasi pemerhati lingkungan lainnya, serta
kelompok masyarakat yang berjuang untuk menuntut keadilan dalam
pembangunan dan dalam tata ruang dan pertanahan. Seruan demi
seruan diperdengarkan dan dipertontonkan oleh berbagai kelompok
62 JOGJA-KU(DUNE ORA) DIDOL