Page 20 - MODUL JUAL BELI
P. 20
2. Rukun Istishna’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar
terjadi: kedua-belah pihak, barang yang diakadkan, dan shighah (ijab qabul). Ketiga
rukun tersebut sebagai berikut:
a. Adanya pemesan dan produsen. Di sini, pemesan biasanya disebut mustashni'
( عنصتسملا ) sebagai pihak pertama. Sedangkan produsen sebagai pihak kedua
ا
disebut shani' (عناصلا ).
b. Barang yang diakadkan/diperjualbelikan. Barang yang diakadkan disebut al-mahal
( لحملا ). Dalam akad jual beli istishna’, objeknya adalah benda atau barang harus
dihadirkan atau dibuat. Sebagian ulama berpandangan dibolehkannya akad bukan
barang. Tetapi, akad tersebut bisa berupa jasa, asalkan kedua belah pihak saling
menyepakati.
c. Adanya ijab qabul. Ijab berarti lafadz dari pemesan yang meminta kepada produsen
untuk membuatkan barang atau jasa dengan imbalan yang ditentukan. Sedangkan,
qabul berarti penerimaan atau jawaban dari pihak produsen bahwa ia siap membuat
atau menyediakan barang atau jasa sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemesan.
3. Syarat Istishna’
Ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi dalam akad istishna’, seperti:
a. Adanya penyebutan dan kesepakatan kriteria barang dan jasa yang akan dilang-
sungkan, agar tidak ada kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Hal ini penting,
agar saat penyerahan barang atau jasa benar-benar sesuai dengan kriteria yang
diinginkan oleh pemesan.
b. Tidak ada batasan waktu penyerahan barang. Dalam akad istishna’, seorang
produsen atau pemesan tidak boleh memerikan tenggat waktu, karena jika pemesan
memberikan tenggat waktu, maka akadnya berubah menjadi akad salam. Hal ini
disampaikan oleh Imam Abu Hanifah. Sementara, sebagian dari ulama Hanafiyah
(Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) berpendapat, tidak menjadi persoalan ada
tenggat waktu, karena masyarakat terdahulu memang melakukan akad semacam itu.
Dan, akad tersebut tidak akan berubah menjadi akad salam. Dapat dikatakan, bahwa
tidak ada alasan untuk menentukan batasan waktu penyerahan barang, karena
tradisi masyarakat tidak berbeda pendapat soal dalil dan hukum syar’inya.
c. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'.
Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'.
Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat
Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyara-
kat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan
kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad
istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad
istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat Islam, melainkan juga berdasarkan dalil
dari al-Qur'an dan sunah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk
10