Page 14 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 14
kencang.
“Asep…” bisik Aip dengan suara bergetar.
Asep tersenyum kecil, meski matanya tak bisa disembunyikan dari keraguan. “Maaf… Aku cuma
pengen kamu tahu, aku seneng banget sama kamu.”
Aip terdiam. Pipinya memanas di tengah dinginnya malam. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada
sesuatu yang terasa ganjil. Kebahagiaan ini terasa nyata, tetapi juga membawa kekhawatiran yang
perlahan merayap di hatinya.
Motor terus melaju, namun suasana di antara mereka berubah. Keheningan itu tidak lagi
sepenuhnya nyaman; ada perasaan yang menggantung di udara, tak terselesaikan. Aip menarik
napas panjang, mencoba memahami apa yang sedang ia rasakan. Di satu sisi, ia merasa bahagia
dan aman bersama Asep. Namun di sisi lain, ada rasa takut bahwa apa yang mereka rasakan akan
membawa mereka ke jalan yang salah.
Tanpa sadar, Aip perlahan menarik tangannya kembali ke belakang, melepaskan genggaman di
pinggang Asep. Asep merasakan perubahan itu dan menoleh sebentar ke arah Aip.
“Kenapa, Aip?” tanyanya pelan.
Aip menggigit bibirnya, menunduk. “Maaf, Sep… Aku cuma butuh waktu.”
Asep terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Aku yang harusnya minta maaf.
Aku… mungkin terlalu terbawa suasana.”
Aip menggeleng. “Bukan salah kamu. Aku cuma… takut ini salah.”
Asep menarik napas panjang. “Aku ngerti, Aip. Maaf kalau aku bikin kamu nggak nyaman.”
Mereka kembali terdiam, tetapi kali ini, keheningan terasa penuh dengan pemahaman. Meskipun
ada kebingungan di antara mereka, satu hal yang jelas: perasaan itu ada, meski belum tahu harus
dibawa ke mana.
---
Sampai di Rumah Aip
Tak lama kemudian, motor berhenti di depan rumah Aip. Lampu teras masih menyala,
menyambut mereka dengan hangat. Aip turun dari motor dengan hati yang masih bergejolak. Asep
mematikan mesin dan menatap Aip dengan penuh penyesalan.
“Aip…” panggil Asep pelan. “Aku harap kamu nggak marah sama aku.”
Aip tersenyum tipis, meski matanya berkabut. “Aku nggak marah, Sep. Aku cuma… butuh waktu
buat ngerti semuanya.”
Asep mengangguk, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat. “Aku bakal nunggu, kok. Yang
penting, jangan jauhin aku.”
“Aku nggak akan,” jawab Aip. “Makasih udah nganterin aku pulang.”
Mereka saling berpandangan untuk beberapa saat, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa
diucapkan. Akhirnya, Asep menghela napas dan tersenyum lembut.
“Selamat malam, Aip. Istirahat ya.”
“Selamat malam, Sep. Hati-hati di jalan.”
Aip melangkah masuk ke halaman rumah, tetapi sebelum ia benar-benar masuk, ia menoleh sekali
lagi. Asep masih di sana, menatapnya dengan penuh harap. Mereka bertukar senyum kecil sebelum
Aip akhirnya masuk ke dalam rumah.
---
Pesan Sebelum Tidur
Tak lama setelah Aip merebahkan diri di tempat tidur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan