Page 12 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 12

es teh, membuat Asep tertawa.
                   “Pedas banget, kan?” goda Asep.
                   Aip mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, tapi… enak.”
                   Mereka saling berpandangan, tawa mereka mereda, digantikan dengan keheningan penuh makna.
                   Tatapan Asep begitu lembut, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.
                   Aip merasakan wajahnya memanas, tetapi ia tak berpaling.
                   “Aip,” ujar Asep pelan, “makasih ya… udah mau jalan sama aku lagi.”
                   Aip tersenyum. “Aku juga seneng, Sep. Kamu bikin hari-hari aku jadi lebih cerah.”
                   Asep menghela napas pelan, seolah melepaskan beban yang ia simpan. “Aku nggak tahu kenapa,
                   tapi tiap kali sama kamu, aku ngerasa lengkap.”
                   Hati Aip bergetar mendengar  kalimat  itu. Ia menggenggam ujung jaket Asep yang  ia kenakan,
                   mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku juga ngerasa gitu, Sep.”
                   Mereka berdua tersenyum, tanpa perlu mengatakan apa-apa lagi. Malam itu, meski belum ada
                   kejelasan tentang hubungan mereka, perasaan itu sudah jelas terukir di hati masing-masing.
                   ---

                   Perjalanan Pulang yang Ingin Diulur

                                   Malam semakin larut ketika Aip dan Asep melangkah keluar dari warung seblak. Udara
                   dingin menyelinap lembut di antara mereka, namun hati Aip terasa hangat setelah menghabiskan
                   malam bersama Asep. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan-
                   bayangan yang menari di trotoar.
                   Asep menyalakan motor dan menoleh ke arah Aip. “Siap pulang?” tanyanya lembut.
                   Aip mengangguk pelan sambil tersenyum. “Iya.”
                   Aip naik ke motor dan duduk di belakang Asep, seperti biasa. Jaket abu-abu milik Asep masih
                   membalut tubuhnya,  menambah  kehangatan di tengah dinginnya  malam. Motor  mulai  melaju
                   pelan, suara mesinnya membelah kesunyian jalanan.
                   Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang nyaman. Aip menggenggam ujung jaket Asep,
                   tetapi  tiba-tiba,  tangan  Asep  bergerak ke belakang. Dengan  lembut, ia meraih tangan Aip  dan
                   membawanya ke depan, melingkarkan di pinggangnya.
                   “Pegangan yang erat, ya,” ujar Asep dengan suara pelan namun penuh kelembutan.
                   Aip merasa pipinya memanas, tapi ia membiarkan tangannya tetap di sana. Tubuh mereka semakin
                   dekat, hampir seperti sedang berpelukan di atas motor. Aip bisa merasakan detak jantung Asep di
                   bawah jaketnya, iramanya seolah menyatu dengan detak jantungnya sendiri.
                   “Aip,” panggil Asep tanpa menoleh, suaranya nyaris tenggelam di tengah embusan angin malam.
                   “Hm?” sahut Aip lembut.
                   “Aku seneng banget bisa kayak gini sama kamu. Rasanya kayak… semua hal di dunia ini jadi lebih
                   mudah,” ucap  Asep  dengan  nada  serius.  Aip  mengeratkan  pelukannya  sedikit.  “Aku  juga,  Sep.
                   Rasanya… aku nggak pengen momen ini berakhir.”
                   Asep tertawa kecil, suara tawanya hangat dan menenangkan. “Kalau gitu, gimana kalau kita jalan
                   muter dulu? Biar nggak cepet nyampe rumah.”
                   Aip terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar. “Beneran? Tapi nanti kamu kecapekan.”
                   “Nggak apa-apa. Kalau sama kamu, aku nggak bakal capek,” balas Asep sambil melirik ke belakang
                   dan tersenyum.
                   Aip tersipu,  hatinya  meleleh  mendengar kalimat itu.  “Kalau gitu,  ayo  muter dulu. Aku pengen
   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16   17