Page 7 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 7
Aip hanya mengangguk, meski Asep tak bisa melihatnya. Hatinya dipenuhi rasa hangat yang sulit ia
jelaskan. Mereka melaju melewati lampu-lampu jalan yang memancar lembut, menciptakan
bayangan-bayangan kecil di sepanjang perjalanan.
Perjalanan itu terasa begitu singkat, meski dalam hati Aip berharap waktu bisa berhenti lebih lama.
Ketika warung seblak mulai terlihat di ujung jalan, Asep memperlambat laju motor. “Kita udah
hampir sampai, nih.”
“Iya,” jawab Aip pelan, suaranya hampir tenggelam di balik suara mesin motor.
Motor berhenti tepat di depan warung seblak kecil dengan cahaya lampu neon yang berkedip-
kedip. Aroma pedas khas seblak langsung menyeruak, menyambut mereka berdua. Asep
mematikan mesin motor dan menoleh ke belakang.
“Sampai juga. Siap buat cobain seblak pedas?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
Aip melepas helmnya perlahan, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Siap, deh.”
Mereka berdua turun dari motor, dan untuk pertama kalinya, Aip merasa bahwa malam ini bukan
sekadar pertemuan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia mengerti
sepenuhnya, tapi ia tahu itu nyata.
---
Hangatnya Seblak dan Percakapan yang Mengalir
Aip dan Asep berjalan berdampingan menuju warung seblak yang sederhana namun
ramai oleh pengunjung malam itu. Aroma rempah dan cabai memenuhi udara, berpadu dengan
suara sendok yang beradu dengan mangkuk dan tawa pengunjung lainnya. Lampu neon yang
berkedip-kedip memberikan suasana hangat meski tempatnya terlihat sedikit lusuh.
“Duduk di sini aja?” tanya Asep sambil menunjuk meja di pojok dekat jendela.
Aip mengangguk pelan. “Boleh.”
Mereka duduk berhadapan. Aip menundukkan kepala, memainkan ujung kausnya, mencoba
menyembunyikan kegugupannya. Sementara itu, Asep terlihat lebih santai, meski ada kilatan
canggung di matanya saat ia membuka percakapan.
“Kamu suka seblak dengan kerupuk apa? Ada kerupuk aci, kerupuk udang, atau makaroni,” tanya
Asep sambil membuka menu.
“Hmm, aku suka kerupuk aci, sih,” jawab Aip dengan senyum kecil. “Nggak terlalu berat.”
“Hehe, pilihan aman,” goda Asep sambil mengangkat alis. “Kalau aku, semua dicampur aja biar
rame.”
Aip tertawa kecil, suara tawanya lembut namun cukup membuat Asep ikut tersenyum. Hawa dingin
malam berganti dengan kehangatan yang perlahan mengalir di antara mereka.
Setelah memesan, mereka kembali terdiam. Aip merasa lidahnya kelu, tak tahu harus memulai
percakapan dari mana. Ia hanya menatap jari-jarinya sendiri di atas meja. Namun, Asep sepertinya
menangkap kecanggungan itu dan akhirnya memecah keheningan.
“Aip,” panggil Asep dengan suara lembut, “seneng akhirnya kita bisa ketemu. Kamu sama kayak
yang aku bayangin.”
Aip mengangkat wajahnya dan bertemu dengan mata Asep. Ada kejujuran dalam tatapan itu yang
membuat dadanya berdebar lebih kencang. “Masa? Emangnya aku kayak gimana?” tanyanya,
berusaha terdengar santai.
“Ya, ramah, kalem, dan… bikin nyaman,” jawab Asep sambil tersenyum.