Page 5 - Janji di Ujung Jarak S1
P. 5
yang menenangkan saat ia mengetik pesan.
Aip: "Sep, kamu masih nyari kerja ya? Udah coba lamar ke tempat yang dekat-dekat sini belum?"
Asep: "Udah sih, tapi kebanyakan mereka butuh pengalaman. Kadang agak nyesel juga kenapa pas
sekolah dulu nggak banyak magang."
Aip: "Ah, jangan nyesel gitu. Aku yakin kok kamu bakal dapet kerjaan yang cocok. Kamu orangnya
rajin, kelihatan banget dari cara kamu cerita."
Asep: "Makasih ya, Aip. Kamu selalu bikin aku ngerasa lebih semangat. Kayaknya kalau kamu deket,
aku bakal ngajak ngobrol langsung tiap hari."
Aip berhenti sejenak membaca pesan itu. Pikirannya melayang. Bagaimana rasanya berbicara
langsung dengan Asep? Bagaimana jika ia benar-benar bisa melihat senyuman itu, bukan hanya
membayangkannya lewat foto?
Aip: "Aku juga kepikiran hal yang sama. Rasanya seru kalau bisa ngobrol sambil nongkrong di
tempat yang asik."
Asep: "Iya. Kita harus ketemu suatu hari nanti. Nggak enak cuma ngobrol lewat chat terus."
Percakapan itu menanamkan ide di kepala Aip. Ia mulai memikirkan kemungkinan untuk bertemu
dengan Asep. Namun, ada keraguan yang menghantuinya. Bagaimana jika aku terlalu berharap?
Bagaimana kalau Asep tidak merasakan hal yang sama seperti aku?
---
Hari-hari berikutnya, Aip tak bisa berhenti memikirkan rencana untuk bertemu. Namun, ia juga
tidak ingin terlihat terlalu bersemangat. Jadi, ia mencoba membahasnya perlahan dalam
percakapan mereka.
Aip: "Sep, kamu biasanya suka nongkrong di mana sih? Aku penasaran aja."
Asep: "Kalau aku suka banget makan seblak. Biasanya nongkrong di warung seblak deket gang
sekolahku dulu. Enaknya di sana seblaknya bisa level pedas banget."
Aip: "Wah, aku suka seblak juga, tapi nggak tahan pedas, hahaha. Kamu kayaknya jago makan pedas,
ya?"
Asep: "Banget. Nggak lengkap kalau makan tanpa pedas. Kamu harus cobain warung itu, enak
banget seblaknya."
Jawaban itu sederhana, tetapi membuat hati Aip melambung. Ia mulai membayangkan berbagai
skenario pertemuan mereka. Dalam pikirannya, Asep akan tetap menjadi sosok yang ramah dan
menyenangkan seperti di chat.
Namun, meski ia bersemangat, ada rasa takut yang menyelinap di sudut hatinya. Ia tahu bahwa
ada sesuatu yang belum ia akui, bahkan pada dirinya sendiri. Ia takut jika pertemuan itu akan
membuka rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Malam itu, sebelum tidur, Aip menatap layar ponselnya dan membaca ulang semua percakapan
mereka. Ia menyadari bahwa semakin sering ia berbicara dengan Asep, semakin sulit baginya untuk
mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.
---
Perjalanan dalam Diam