Page 132 - Ayah - Andrea Hirata
P. 132

Ayah ~ 119


                 “Sudahkah kau lihat surat kabar?”

                 “Surat kabar apa?”
                 “Tak tahukah kau? Sabari sudah jadi orang tenar! Orang
            besar! Dia juara maraton!”
                 “Apa peduliku!? Dia mau jadi juara maraton, mau jadi
            juara menulis indah, tak ada urusan denganku!”

                 “Baiklah, dan Sabari ingin mempersembahkan hadiah-
            hadiah ini untukmu. Begitu amanahnya.”
                 Yang terjadi adalah Lena marah-marah. Diliriknya ha-
            diah-hadiah itu, segala lampu petromaks, rantang, gelas, pi-
            ring, jam dinding. Tak sudi dia menerimanya.
                 “Bawa pulang sana! Jangan lupa kau sampaikan pada
            Sabari! Teriakkan di telinga wajannya itu keras-keras! Dia itu
            sudah majenun!”

                 Keesokannya Ukun dan Tamat kembali ke Tanjong
            Pandan. Mereka mengembalikan semua hadiah itu kepada
            Sabari sambil mengatakan bahwa Marlena tak mau mene-
            rimanya. Lalu, Ukun bangkit dan bersorak sekeras-kerasnya
            dekat telinga Sabari, “Lena berpesan pula agar aku tak lupa

            meneriakkan di telinga wajanmu! Bahwa kau sudah ma-
            jenun!”






            Berakhirlah bab maraton dalam hidup Sabari. Kejayaan itu
            tiba begitu cepat, lalu lenyap sekedip mata. Bak bintang jatuh,
   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137