Page 127 - Ayah - Andrea Hirata
P. 127

114 ~ Andrea Hirata


              Maka, bekerjalah Sabari sebagai kuli bangunan dan

          sungguh tinggi dedikasinya. Tak kenal lelah dia. Kuli lain
          mencuri-curi waktu agar bisa bermalas-malasan, dia sebalik-
          nya. Yang tak disuruh dikerjakannya, apalagi yang disuruh.
          Orang lain minta libur, dia minta masuk kerja. Kerap mandor
          menyetopnya karena terlalu  banyak mengaduk semen,  me-
          maku sesuatu yang seharusnya tak dipaku, memasang yang
          bukan untuk dipasang, dan mengangkat yang seharusnya tak
          diangkat.
              Jika diperintah, dengan sigap dia menjawab, “Beres,

          Dor!” bahkan sebelum mandor selesai bicara.
              Pulang kerja, tubuhnya remuk redam seakan telah di-
          hantam seribu gada. Sendi-sendinya nyeri, tulang-tulangnya
          ngilu. Dilewatkannya malam dengan duduk sendiri sambil
          memegang pensil dan memandangi ilalang yang berkilauan
          disinari bulan. Angin  selatan berembus pelan, senyap dan
          sepi. Air mata lelaki kuli yang lugu itu mengalir pelan. Dia
          rindu kepada Marlena.






          Bangunan yang dikerjakan Sabari sudah selesai. Sabari me-

          ngatakan kepada mandor bahwa jika ada proyek lagi, dia mau
          ikut. Mandor tersenyum dan mengangguk dengan seribu kata
          tidak dalam dadanya.
              Tunggu punya tunggu, mandor tak memanggil, Sabari
          mencari kerja lain. Kalau dia mau, sebenarnya dia diterima
   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132