Page 122 - Ayah - Andrea Hirata
P. 122
Ayah ~ 109
Sebelum naik panggung, Sabari mencium tangan ayah-
nya, satu tindakan yang kemudian mendapat tepuk tangan
yang riuh lagi.
Sabari menerima ijazah dari Bu Norma. Ibu menyalami-
nya kuat-kuat sambil tersenyum lebar. Melihat mik mengang-
gur di podium, Sabari sedikit berbisik kepada Bu Norma:
“Bisa bicara sedikit, Bu?”
“Sila, Raskal 1.”
“Bolehkah kusampaikan sesuatu untuk kawan-kawan
pakai mik itu?”
Bu Norma, yang tahu kecenderungan dramatis Sabari,
ingat kejadian Sabari dengan guru Fisika saat dia mau ber-
henti sekolah tempo hari. Sabari di depan mik. Gawat. Segala
sesuatu bisa terjadi. Dia curiga.
“Menyampaikan apa, Ri?”
“Semacam puisi perpisahan.”
“Puisi perpisahan? Hanya puisi perpisahan?!” Bu Nor-
ma berbisik keras.
“Tentu, Bu.”
“Sungguh?! Jangan kau main-main, Ri, ini acara resmi!
Banyak tamu penting, Wakil Bupati, Kepala Dinas Pendidik-
an, Kepala Polisi Pamong Praja, Ketua KUA, Ketua BKK-
BN, jangan kau bikin teater dadakan, berpidato yang bukan-
bukan, awas kau, Boi!”
“Tenanglah, Bu, ini puisi perpisahan saja.”
Bu Norma menimbang-nimbang sebentar, sulit dia
mengambil keputusan, tetapi akhirnya dengan waswas dia

