Page 119 - Ayah - Andrea Hirata
P. 119

106 ~ Andrea Hirata


              Dia sedikit limbung sebab telah enam tahun cita-citanya

          itu pingsan. Dia mau menjadi dokter hewan sejak kelas enam
          SD, sejak melihat seorang dokter hewan membantu sapi ber-
          anak dalam buku komik. Waktu itu ayahnya masih berjaya.
          Selama  enam tahun itu, baru kali  ini dia berani  mengata-
          kan lagi bahwa dia mau menjadi dokter hewan. Dia berani
          mengatakannya karena Sabari mengatakan bahwa dia mau
          menjadi guru Bahasa Indonesia. Tanpa diketahui Sabari, dia
          telah membangkitkan lagi cita-cita Izmi.
              “Cita-citamu apa, Bujang?” tanya gurunya kepada

          Amiru.
              Amiru juga tercenung. Dia sedih karena teringat akan
          radio ayahnya di kantor gadai.
              “Aku ingin menjadi pencipta radio, Bu.”
              “Maksudmu?”
              “Aku ingin menciptakan radio yang hebat, radio yang
          bisa menangkap siaran gelombang pendek dari seluruh du-
          nia, dengan suara yang jernih.”
              Sambil terbaring lelah setelah mencuci segunung cucian
          di rumah tauke, Izmi memandangi rapornya. Rasa bahagia
          menyelinap dalam hatinya. Angka-angka biru beruntai-untai,
          berkilauan bak butir-butir mutiara. Memesona bak bait-bait

          puisi Sabari. Pujangga kampung yang hebat itu, apakah yang sedang
          dilakukannya? Apakah dia sedang menulis puisi? Apakah dia sedang me-
          rindukan Marlena? Izmi teringat akan Sabari dan teringat akan
          ayahnya yang telah bertahun-tahun di penjara.
   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124