Page 137 - Ayah - Andrea Hirata
P. 137
124 ~ Andrea Hirata
ngan lelaki yang wajahnya macam penjahat dalam pelem Si
Buta dari Gua Hantu.
“Aku mengerti perasaanmu, Yun,” Ukun pasrah.
Ukun melirik lagi seorang perempuan yang suka duduk
sendiri di taman balai kota. Perempuan itu berparas lumayan,
kulitnya bersih. Rambutnya lebat. Pakaiannya seperti sera-
gam pegawai PDAM. Dia pendiam, tetapi selalu tersenyum.
Ukun tak jadi mendekatinya karena curiga.
Soal Tamat adalah pelik. Dia dinamai Tamat oleh ayah-
nya dengan satu maksud agar menamatkan perguruan tinggi
dulu baru berkenalan dengan perempuan. Kesulitan ekono-
mi membuatnya tidak bisa kuliah dan sekarang ayahnya te-
lah meninggal sehingga tak bisa dimintai pendapat. Dia mau
menganulir pesan ayahnya, tetapi takut kualat. Tamat serba-
salah. Yang bisa dilakukannya hanya menunggu wangsit atau
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ayahnya memberi
restu kepadanya untuk pacaran.
Ukun tak patah semangat. Berbagai cara sudah dicoba,
tetapi cinta belum berpihak. Usia bertambah, dia gelisah.
Kata orang, untuk melipur sial asmara, dia harus ke pantai
barat pada Februari untuk melihat saat langit menjadi biru. Ko-
non, jika bisa menahan napas selama langit menjadi biru itu, jo-
doh akan enteng. Ukun tak pernah percaya dengan dongeng
kampung itu.

