Page 138 - Ayah - Andrea Hirata
P. 138
Ayah ~ 125
Tiada jeda dirundung derita cinta sebelah mata, Sabari mulai
suka bicara sendiri. Ukun dan Tamat cemas.
“Terlalu sentimental.” Begitu pendapat Tamat tentang
Sabari.
“Sikapmu itu merupakan kombinasi antara gizi buruk
dan terlalu banyak membaca novel, berbahaya, bisa berla-
rut-larut. Untuk menyelesaikannya harus ditempuh satu cara
yang ekstrem, yaitu berkenalan dengan perempuan lain.”
Ukun menggeleng-geleng kagum sambil menatap Ta-
mat.
“Mengapa kau bisa begitu cerdas, Boi? Padahal, waktu
kita kecil dulu kau bebal minta ampun.”
“Aku pun tak tahu apa yang terjadi denganku, Kun, seti-
ap bangun pagi aku merasa semakin cerdas!”
Ngomong-ngomong, berkenalan dengan perempuan lain
sangat dihindari Sabari. Memandang artis India di baliho
film di Bioskop Serodja saja sering membuatnya merasa telah
mengkhianati Lena (siapa bilang Sabari obsesif?).
“Diam-diam, kau sudah kukenalkan dengan tukang
jamu gendong yang suka berjualan di muka bank BRI, ber-
minatkah kau, Ri?”
Sabari menggeleng.
“Kuceritakan soal kau padanya. Kubilang jangan terke-
jut kalau berjumpa denganmu, sebab kau jelek sekali. Tapi,
kubilang juga hatimu baik, pintar membuat puisi, dan sudah
punya pekerjaan tetap di pabrik es. Dia tersenyum, Ri! Dia
putar-putar cincinnya!”

