Page 40 - Ayah - Andrea Hirata
P. 40

Ayah ~ 27


                 “Kalau perlu menggadaikan rumah.”

                 Akan tetapi, hukum karma tetap berlaku dan masih ber-
            laku. Dua anak lelakinya, seperti dirinya dulu, menempuh ja-
            lan hidup sebagai bedebah.
                 Anak ketiganya perempuan, pendiam, dan penuh bisa.
            Baru kelas dua SMP anak itu sudah disambar seorang lelaki

            berpembawaan kalem. Yang kalau diajak bicara banyak me-
            nunduk. Lantaran dilanda kekecewaan yang besar atas tak
            becusnya tiga anaknya, Markoni menaruh harapan terbesar
            kepada si bungsu. Namun sial lagi, di balik wajah manis si
            bungsu itu, tersimpan jiwa pemberontak.
                 Si bungsu telah menunjukkan tanda-tanda berandal se-
            jak SD. Disuruh  belajar  sama susahnya dengan menyuruh
            kambing berkokok. Dimarahi, dianggapnya angin lalu saja.

            Diperingatkan,  tak mempan.  Diancam,  tak gentar.  Dinasi-
            hati, melawan. Satu patah kata ayahnya, dua patah kata dia.
            Dihardik supaya rajin belajar biar nanti bisa sekolah tinggi,
            dipulangkannya  kata-kata  ayahnya,  bahwa ayahnya  sendiri
            dulu drop out. Markoni panas telinga, tetapi mati kutu.

                 Markoni  bertanya kepada istrinya, mengapa si bung-
            su keras begitu. Istrinya berkata, lihatlah siapa yang bicara
            itu. Berkali-kali si bungsu hampir tak naik kelas. Kritis. Yang
            membuat Markoni sangat jengkel adalah kata guru-guru, si
            bungsu itu sesungguhnya sangat pintar. Sekarang  Markoni
            dapat merasakan betapa pedih hati ayahnya dulu sebab dia
            dulu juga sebenarnya murid yang pintar.
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45