Page 45 - Ayah - Andrea Hirata
        P. 45
     32 ~ Andrea Hirata
              Dulu, di antara kawan-kawannya, Sabari paling terlam-
          bat pandai naik sepeda. Dia juga terakhir pandai mengaji,
          pandai menulis dan membaca, semua itu lantaran kesabar-
          annya. Namun, kali ini dia tak dapat bersabar. Sebab, dia tak
          tahan memegang pensil sepanjang malam. Dia lelah melihat
          bunga-bunga ilalang beterbangan dalam kamarnya. Dia ha-
          rus tahu siapa anak perempuan itu dalam tempo sesingkat-
          singkatnya. Untuk itu, satu-satunya cara adalah dengan me-
          nunggu anak itu di MPB, pas hari pengumuman hasil ujian
          masuk SMA nanti.
              Sabari  mengarungi  hari demi hari bak mengarungi
          samudra waktu.  Akhirnya, tibalah hari pengumuman  yang
          mendebarkan itu. Sejak siang Sabari sudah bercokol di peka-
          rangan Gedung MPB. Belum pernah dia merasa waktu ber-
          jalan begitu lambat sekaligus cepat. Cepat sekaligus lambat.
          Membingungkan.
              Agar sasaran tak lolos, Sabari mengambil posisi di ping-
          gir selasar. Siapa pun yang ingin melihat pengumuman harus
          melalui selasar panjang itu.
              Petugas menempelkan lembar pengumuman, anak-anak
          mulai berdatangan. Lekat Sabari menatap setiap anak perem-
          puan, jantungnya mau copot. Teriakan anak-anak yang lulus
          membuatnya makin gugup. Dia sendiri tak peduli akan hasil
          ujiannya karena pikirannya terfokus kepada perempuan ber-
          mata indah seperti purnama kedua belas itu.
              Tiba-tiba anak perempuan itu berbelok di ujung selasar.
          Sabari terpana. Anak itu melangkah dengan cepat, wajahnya
     	
