Page 44 - Ayah - Andrea Hirata
P. 44
Ayah ~ 31
puan kepada kawan-kawannya itu. Karena, dia telah menjadi
orang yang dulu dicemoohnya.
Sabari melamun. Apakah aku kelihatan seperti orang yang se-
dang memendam sebuah rahasia? Apakah Ukun dan Tamat tahu rahasia
hatiku? Bahwa aku sedang jatuh cinta? Perlukah kukabari mereka bah-
wa aku sedang jatuh cinta? Kukabari sedikit mungkin, jangan banyak-
banyak, tapi jangan ah, aku malu. Oh, apakah gerangan yang kualami
ini? Mengapa kebingungan bisa menjadi begitu indah?
Ukun dan Tamat sendiri jengkel karena Sabari tak mau
lagi diajak ke danau tambang untuk berenang. Diajak me-
ngejar layangan di padang, dia menggeleng. Diajak meng-
gantungkan sepeda guru ngaji di dahan pohon bantan, dia tak
berminat. Padahal, dulu dialah biangnya. Diajak melempar
buah sagu, dengan sungkan dia berangkat. Namun, tingkah-
nya aneh. Dia memasukkan bajunya. Ukun jengkel.
“Boi! Kau ini mau menghadap Pak Camat atau mau ke
hutan?!”
Dibongkarnya baju Sabari. Diam-diam Sabari mema-
sukkannya lagi.
Sekonyong-konyong, Sabari bukan Sabari yang dulu
lagi. Dia lebih kalem, lebih sering mandi, dan tak mau me-
ngenakan baju bernoda getah buah hutan.
Saban malam dia rindu kepada perempuan yang me-
rampas kertas jawabannya itu. Mata anak itu lekat dalam
kepalanya. Di dinding kamarnya dia menulis; Purnama kedua
belas, siapakah dirimu?

