Page 184 - Sejarah Nasional Indonesia
P. 184
menjadi tersentralisasi pada kepemimpinan Soeharto sebagai
personal (Pratikno, 1998).
Depolitisasi Indonesia yang dilakukan oleh Soeharto menuntut
para menteri untuk tidak membuat kebijakan sendiri melainkan harus
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan
olehnya sebagai presiden dengan menggunakan partai golkar
miliknya sebagai kendaraan parlementer yang kuat. Partai Golkar
dibangun menjadi suatu alat agar mayoritas suara ketika pemilihan
umum akan terus mendukung pemerintah mengakibatkan suasa
demokrasi menjadi mati.
Puncak dari kebijakan otoriter Soeharto ialah pasca terjadinya
peristiwa Kerusuhan Malari yang tidak dapat dikendalikan. Kerusuhan
sosial tahun 1974 tersebut merupakan aksi demonstrasi mahasiswa
yang berujung menjadi kerusuhan ketika menyambut kedatangan
perdana menteri Jepang yang dianggap sebagai representasi modal
asing yang merugikan rakyat Indonesia. Untuk mengantisipasi hal
tersebut terjadi dikemudian hari, Soeharto membuat kebijakan-
kebijakan yang bersifat lebih menekan dimana para jurnalis ditahan
tanpa persidangan, dua belas surat kabar kemudian ditutup, serta
aksi demontsrasi ditanggapi dengan represif oleh pihak keamanan
(Schaar Der Van et al., 2024). Kekerasan adalah instrument pokok
yang digunakan oleh presiden Soeharto dalam menciptakan stabilitas
politik di Indonesia dengan membatasi kekuatan oposisi yang dapat
mengganggu jalannya pemerintahan. Kontrol terhadap aktivitas
masyarakat dilakukan dengan membentuk badan intelejen BAIS
(Badan Intelejen Strategis) yang berhubungan langsung dengan
markas besar ABRI, dan BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen) yang
menyentuh langsung aktivitas masyarakat sampai ke desa. Adapula
Lembaga represi Kopkamtib yang salah satunya bertugas mengawasi
pers dan aktivitas-aktivitas yang kritis terhadap pemerintah(Pratikno,
1998).
Oleh: Ahmad, S.Pd., M.Pd. 175

