Page 138 - Perempuan Yang Ingin Membeli Masa Lalu
P. 138
membuatku kecewa. Hal yang membuat ku mengubah
pandanganku terhadap mama.
―Hhhhh…‖ kusandarkan badanku pada bangku panjang
taman ini. Mengadah langit yang mulai meredup. Sinar oranye
di atas sana terlihat samar. Terlihat sendu. Seperti wajah
mama yang selalu ia sembunyikan kala menghampiriku. Dalam
pangkuan pengasuh waktu dulu, aku tak pernah paham
tentang lelah mama. Yang aku pahami, mama pulang adalah
waktu bermainku. Sampai saat aku mengerti arti lelah yang
terukir dalam wajah mama setiap paginya, ia tetap
menyembunyikan lelah itu dalam senyum damai yang ia miliki.
Perjuangannya membesarkanku pastilah tidak mudah.
Terlebih tanpa papa. Aku yakin sulit bagi mama. Aku pantas
bangga padanya. Harusnya. Harusnya sampai sekarang rasa
banggaku pada mama tetap ada. Harusnya rasa sayangku
makin besar terhadap mama. Harusnya aku paham, semua
yang mama lakukan untuk membuatku tumbuh dengan
bahagia. Harusnya aku menutup mata, agar perjuangannya tak
sia-sia.
―Apa mama masih pantas ku sebut kartiniku?‖ aku
bertanya pada diriku sendiri.
Setelah semua yang pernah aku lihat, apa sebutan itu
masih pantas untuk mama? Sebutan yang dulu aku berikan
saat masih dalam balutan seragam merah putih. Sebutan yang
aku berikan usai menerima pelajaran ilmu sosial.
***
―Mama..! Mama tau Ibu Kartini?‖
129
Antologi Cerpen PEREMPUAN YANG INGIN MEMBELI MASA LALU

