Page 169 - Art of Ericksonian Hypno
P. 169

The Art of Ericksonian Hypnosis: Prinsip-Prinsip Mendasar dan Penerapannya


                   Itu keajaiban cerita. Itu keajaiban pikiran anda, yang selalu mampu mencari
                   kesejajaran dengan apa saja cerita yang anda terima. Tak ada niatan terapetik
                   di dalam cerita itu; ia sekadar cerita biasa, sebuah ingatan begitu saja yang
                   dipicu oleh sebuah pertanyaan.

                   Dan saya sungguh-sungguh terhadap jawaban saya bahwa pelajaran SD yang
                   paling saya ingat adalah cerita yang dituturkan oleh guru. Sementara
                   pelajaran lain menguap, cerita-cerita melekat dalam benak—selamanya.

                   Jadi, sekarang kita tahu satu hal dalam cerita: ia memiliki kemampuan untuk
                   melekat selamanya dalam benak manusia.

                   Dan Erickson mendapati hal itu pada cerita, dan ia menggunakannya sebagai
                   perangkat intervensi terapetik untuk melekatkan pembelajaran ke dalam
                   kesadaran subjeknya. Anda sekadar menceritakan kisah Qarun, si tamak yang
                   ditelan bumi beserta seluruh kekayaannya, untuk menyampaikan kepada
                   pendengar bahwa begitulah nasib orang yang tamak.

                   Tanpa diembel-embeli dengan nasihat, “Bersyukurlah, jangan tamak!” orang
                   yang mendengar cerita itu akan mendapati sendiri maknanya, sejalan dengan
                   kemampuannya mencerna. Dan dalam menyampaikan cerita terapetik, anda
                   memang tidak perlu meringkus pemahaman subjek dengan kesimpulan anda
                   sendiri. Biarkan saja mereka menemukan sendiri pengetahuan mereka.
                   Mereka akan menemukan apa yang sesuai dengan pengalaman individual
                   mereka.

                   Metafora, pembelajaran aktif

                   Berpegang pada pendapat bahwa hipnosis adalah proses pembelajaran, maka
                   sangat masuk akal bahwa Erickson selalu mencari perangkat apa pun yang
                   memungkinkan pembelajaran dijalankan. Keputusannya untuk menggunakan
                   metafora berangkat dari eksperimen yang ia lakukan dengan cerita-cerita
                   rekaan (ingat bab 19 tentang Induksi dengan Teknik Rehearsal).

                   Mula-mula ia banyak menggunakan cerita rekaan sebagai sarana simulasi
                   bagi pasiennya, di mana ia menempatkan pasien pada sebuah situasi tertentu
                   yang seolah-olah pernah ia alami. Di sana pasien dihadapkan pada masalah
                   yang harus diselesaikan, dan secara tersirat Erickson akan memberikan
                   pembelajaran tentang bagaimana cara menghadapi situasi semacam itu. Atau
                   secara bertahap ia akan mengoreksi situasi tersebut, atau melemahkan
                   efeknya pada si pasien.






                   A.S. Laksana                                                                       169
   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174