Page 157 - Memahami-Bidah-Secara-Komprehensif
P. 157
Memahami Makna Bid‟ah | 155
َعنصَامفَ، ةعدبَىاَةحلصمَ هاؾٝوَ ،هدَغوَ ءاملعلاَ فاطلسَ ؿاق
َ ػىاَ. ائيش
ً
“Asy-Syathibi telah mengakui dengan adanya kebutuhan
mengerjakan itu (Jam‟ul Qur‟an), dan bahwa itu [menurutnya]
perkara wajib. Ia menamakannya dengan mashlahah (maslahat). Ia
tidak ingin menamakannya sebagai bid‟ah, karena menurutnya
bid‟ah adalah; “Sesuatu yang bertujuan dengannya untuk menambahkan
terhadap pembuat syari‟at (yaitu; terhadap Allah dan Rasul-Nya)”.
[Pemahaman asy-Syathibi] ini salah besar. Karena sesungguhnya
yang membolehkan adanya tambahan dalam syari‟at (artinya
membuat ajaran/syari‟at dari dirinya sendiri) adalah bukan
seorang muslim. Dan sesungguhnya para ulama yang
mendefinisakan bid‟ah tidak menyebutkan itu sebagai tambahan
[terhadap pembuat syari‟at]. Karena itulah para ulama
membaginya kepada bid‟ah kepada hasanah dan sayyi-ah [bukan
untuk menambahkan]. Dan para ulama membagi bid‟ah tersebut
dengan memandang kepada apakah adanya maslahat atau bahaya
sesuai pembagian hukum-hukum syari‟at [yang ada] yang lima;
wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembahasan ini sudah
lewat di mukadimah [buku ini], tidak perlu kita mengulang
kembali. Kemudian, karena adanya maslahat itulah yang
menuntut kepada kebutuhan merintis perkara baru. Jadi, bukan
membuat syari‟at yang baru. [Contoh]; Menjaga al-Qur‟an dari
kepunahan adalah maslahat; yang mewajibkan kepada keharusan
menghimpunnya dan membukukannya. Memperbanyak masjid-
masjid adalah maslahat bagi orang-orang yang shalat; yang itu
menuntut kepada adanya pelaksanaan shalat Jum‟at di berbagai
tempat (ta‟addud al-Jum‟ah). Dan demikian seterusnya dalam
[tuntutan] membuat setiap bid‟ah hasanah. Maka asy-Syathibi
sebenarnya telah asing dari para ulama dengan apa yang ia