Page 18 - Memahami-Bidah-Secara-Komprehensif
P. 18
16 | Memahami Makna Bid‟ah
mengungpulkan manusia untuk shalat itu. Demikian pula tidak
ada shalat tersebut di masa Abu Bakr. Hanya baru ada di masa
„Umar, dan beliaulah yang mengajak menusia untuk
mengerjakannya. Karena itulah beliau menamakannya sebagai
bid‟ah. Dan pada hakekatnya shalat tersebut adalah sunnah,
karena adanya sabda Rasulullah: “Hendaklah kalian mengerjakan
sunnahku (ajaranku), dan sunah (ajaran) para al-Khulafa‟ ar-Rasyidin
setelahku”. Juga karena ada sabdanya: “Ikutilah oleh kalian dengan dua
orang sesudahku; Abu Bakr dan „Umar”. Dan di atas takwil inilah
diberlakukan pemahaman hadits lainnya (yang berbunyi); “Kullu
muhdatsah bid‟ah”. Yang dimaksud adalah bid‟ah (sesat) yang
menyalahi pokok-pokok Syari‟at dan tidak sesuai dengan
7
sunnah”.
(Tiga): Pakar bahasa lainnya, al-Fayyumi (w 770 H)
dalam kitab al-Mishbah al-Munir menuliskan sebagai berikut:
ِ ٍ
َ ت َ َ عدبأو ، َ َ ؿاث َ مَ ىل َ عَ َ خَ َ َ ل َ ق َ ه َ م َ ىا َ َ ُ ْ َ عا ا َ ً َ ق َ َ دبإ َ َ ْ لف٠اَ لىا َ َ َ عت ُ ْ َ َ َ بأ َ د َ ع َ َ للا
َ
ْ ُ
َ ٌ
َ َ
ْ ُ
ْ ْ ُ َ ْ
َ َ ة َ ىو َ ي َ َ عدب ِ ِ َ لا َ ف َ ة َ َ خق١ا ِ َ ة َ َ َ لاحللَليقَونمو ُ ْ ػثد َ ت و ، َ َ حأ َ َ ر َ ج َ ت َ وَو َ ختساَو َ ت َ عدبأو
َو َ ىَا َ ميفَا َ ُ ك٢ا َ معتساَب َ َ غَثم ع ا ، َ َ فترىاا َ َ نمَة َ ْ ػف َ ع َ رلاكَعدتبىااَنمَم َ سا
َ َ ل
ا
َ
ْ
ُ
ّ َ
َ
َ
َ
َى ُ َ َ َ يف َ س َ م ٍ َ هورك َ َ م َ دَغَاه َ ضعبَفو ْ ن َ َ دق َ َ ُ كك ِ َ َ كل ٌ َ ةداكزَوأَنكدلاَقي َ َ ص َ قن
ْ
ُ
َ َ
ٌ
َ َ
ْ
َ َ ْ ِ ْ َ ر َِ ع َ َ وأ َ َ ْ ػقا َ ت َ ض َ ت َو َ شلاَ ِ َ ل َ َ قي ٌ َ صأَ َ س و ِ ْ َ ه َ د َ َ نؿٞ ِ َ شَ امَ و َ ىوَ ة َ حابم َ ة َ َ عدب
َ ً
ّ
ُ
َ
. ػىا"َةد َ ف َ س ْ َ مَاهػ ِ َ بَعفدنك َ ٌ َ ةح َ َ لص َ م َ
َ َ
“Kata “Abda‟a Allah al-khalqa ibda‟an”; maknanya “Allah
menciptakan para makhluk tanpa ada keserupaan”. Kata “abda‟tu
asy-sya‟ia, wa ibtada‟tuhu”; maknanya “aku mengeluarkan sesuatu dan
merintisnya (artinya; aku mengadakan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya)”. Dan dalam makna ini dikatakan pula; jika suatu
7 َIbnul Atsir, an-Nihayah Fi Gharib al-Hadits, j. 1, h. 106-107