Page 43 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 43
32
Raden Imba II memperkuat benteng-benteng pertahanan karena yakin Belanda akan
menyerang Lampung Selatan. Keyakinannya terbukti, sejak tahun 1832 Belanda
beberapa kali melancarkan serangan namun selalu gagal, termasuk pada pertempuran
di kaki Gunung Rajabasa tahun 1833. Keberhasilan mempertahankan wilayah
membuat rakyat Lampung semakin berani menentang kolonialisme.
Pada Juli 1834, Belanda kembali menyerang dengan pasukan besar di bawah pimpinan
Beeldhouder dan Kapten Pouwer, tetapi tetap gagal. Akhirnya, pada 23 September
1834, Kolonel Elout dengan kekuatan lebih besar dan persenjataan meriam berhasil
merebut benteng Raja Gepeh, sehingga perlawanan masyarakat Lampung pun
dipatahkan. Raden Imba II sempat meloloskan diri untuk mencari bantuan Sultan
Lingga, iparnya. Namun, karena tekanan Belanda, Sultan Lingga terpaksa
menyerahkannya. Raden Imba II akhirnya ditangkap dan dibuang ke Timor oleh pihak
Belanda.
Selama perjuangannya, Raden Imba II banyak mendapat dukungan dari masyarakat
Lampung dan bantuan dari pemimpin di wilayah lainnya yang merasakan ketidak
adilan pemerintah jajahan. Persamaan nasib tersebut telah mengikat masyarakat untuk
bersama-sama melawan Belanda yang berusaha untuk menguasai Lampung. Ikatan
masyarakat yang didasarkan atas persamaan nasib serta dukungan dari berbagai pihak
tersebut merupakan salah satu bentuk solidaritas masyarakat Lampung pada masa
kepemimpinan Raden Imba II. Ikatan tersebut mampu menggerakkan masyarakat
untuk bekerja sama, saling perduli, saling percaya dan memegang teguh tanggung
jawab dalam setiap perjuangannya, sehingga politik adu domba yang dilakukan
Belanda tidak pernah berhasil memecah belah seluruh persatuan masyarakat Lampung.
Rasa solidaritas sosial pada masa kepemimpinan Raden Imba II ini berhasil
mengalahkan beberapa ekspedisi yang dilakukan Belanda. Meskipun pada ahirnya
perlawanan masyarakat Lampung yang dipimpin oleh Raden Imba II ini berhasil
dipatahkan oleh Belanda karena peralatan perang yang tidak seimbang (Mujiyati,
2017).

