Page 38 - Ten Myths about Israel
P. 38
Sementara itu, kaum elite urban yang terus berkembang menetap
di sepanjang pantai, dataran pedalaman, dan pegunungan.
Kita sekarang memiliki pemahaman yang jauh lebih baik
tentang bagaimana orang-orang yang tinggal di sana mendefini-
sikan diri mereka sendiri sebelum Zionis mulai menjajah negeri
tersebut. Seperti halnya di tempat lain di kawasan Timur Tengah
dan sekitarnya, masyarakat Palestina diperkenalkan pada kon-
sep yang sangat menentukan pada abad ke-19 dan ke-20, yaitu
bangsa. Ada dinamika lokal dan eksternal yang mendorong sudut
pandang baru untuk menyebut diri mereka sendiri, sebagaimana
yang terjadi di penjuru lain dunia kala itu.
Ide-ide nasionalisme diimpor ke Timur Tengah, sebagian
oleh para misionaris Amerika yang tiba di awal abad ke-19 untuk
berdakwah. Namun, para misionaris itu juga memiliki keinginan
untuk menyebarkan gagasan baru tentang penentuan nasib sen-
diri (self-determination). Sebagai orang Amerika, mereka merasa
bahwa mereka tidak hanya mewakili agama Kristen, tetapi juga
mewakili negara yang baru merdeka di peta dunia.
Kaum elite terpelajar di Palestina bergabung dengan kelom-
pok elite lainnya di dunia Arab untuk mencerna gagasan-gagasan
ini dan merumuskan doktrin nasional yang autentik. Kemudian,
gagasan ini mendorong sekelompok masyarakat Palestina untuk
menuntut lebih banyak otonomi internal, dan pada akhirnya
berujung merdeka dari Kesultanan Utsmani.
Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, elite intelektual
dan politik Utsmaniyah mengadopsi ide-ide nasionalis romantis
yang menyamakan keutsmaniyahan dengan keturkian. Kecende-
rungan ini berkontribusi pada asingnya warga non-Turki di Istan-
bul—notabene adalah orang Arab—dari Kesultanan Utsmaniyah.
10 Ten Myths about Israel

