Page 165 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
        P. 165
     Jodi akan mengajak kami berdiskusi tentang kebijakan
               pemerintah terbaru. Mungkin ia kehabisan teman berdebat.
               Mungkin saja di rumah orang tuanya ia mati gaya, dan
               hampir mati bosan. Namun saat saya melihat raut wajah
               Jodi yang begitu kalut, saya tahu ini bukan tentang negara
               atau bangsa. Ini bersifat lebih personal. Batin saya sontak
               bersuara, mungkin sudah saatnya kami berempat bersatu
               dalam payung usaha perekonomiaan bersama. Setidaknya,
               supaya keuangan rumah tangga Rachmad dan keluarga Jodi
               baik-baik saja.
                   “Kawan kita tersayang, Rachmad…. Aku pikir, ia telah
               tewas.”
                   Bagai petir di siang bolong, ucapan Jodi membuat saya
               yang tadinya rebahan langsung terbangun, terduduk kaku.
               Lalu, Jodi menangis saat menceritakan ini:
                   Kira-kira seminggu yang lalu Rachmad meneleponnya.
               Rachmad hendak meminjam  uang.  Jodi dengan  jujur
               bilang, bahwa ia juga sedang tak punya uang. Mereka
               berdua kemudian saling curhat. Seperti saudara senasib
               sepenanggungan, sama-sama susah, sama-sama sambat,
               sama-sama menguatkan. Jodi lantas mengusulkan bahwa
               siapa tahu saya dapat menolong Rachmad membuka bisnis
               baru. “Papanya David pengusaha garmen, pastilah beliau
               punya koneksi pemasok bahan baku murah dan jaringan
               pemasaran yang kuat,” begitu kata Jodi menirukan saran-
               nya kepada Rachmad tempo hari. Rachmad pun menjadi
               antusias kembali dan memutuskan balik ke rumah kontrakan
               untuk langsung berbicara dengan saya. Ia juga sempat bilang
                                      147
     	
