Page 164 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 164
“Jangan bergerak! Angkat tangan!”
Tentu saja Pak Tua renta itu menurut. Segera saya
boyong sebuah kotak kayu bergembok dan saya larikan
kencang-kencang Honda Supra keluar dari lingkungan
masjid. Di gang yang sepi lekas saya lepas jaket dan topeng
Dali, lalu pergi sambil menutupi kotak amal dengan jas hujan
kelelawar. Gerimis memang sudah turun saat saya menuju
masjid. Dan hujan deras mengguyur bumi tepat setelah saya
keluar masjid.
Berhari-hari kemudian, tidak terjadi apa-apa. Tidak
ada video viral yang memuat sosok saya. Saya kembali ke
rutinitas normal setelah balas dendam tuntas saya lakukan.
Pistol sudah saya buang. Kotak amal sudah saya bakar. Saya
kembali mengerjakan tesis yang sempat mangkrak. Saya me-
rindukan obrolan seru di ruang tengah bersama tiga kawan
saya. Andaikata Wahyudi, Jodi dan Rachmad masih ting-
gal di kontrakan, kami berempat pastilah sedang berdebat
membahas teori konspirasi seputar pandemi. Apakah virus
korona bikinan Amerika? Cina? Israel? Atau ulah elite global
rahasia? Siapa yang paling diuntungkan akibat pandemi ini?
Apakah bijak melonggarkan karantina wilayah? Apakah ra-
mai-ramai orang ke mal adalah bukti bahwa solusi kekebalan
komunitas adalah kebijakan sembrono? Ah, membayang-
kannya saja sudah menyenangkan. Pastilah Jodi yang paling
panjang menyemburkan argumen-argumen sengitnya.
Tak sampai tengah hari ketika saya merindukan
kemba-li suasana rumah yang hangat, Jodi mengajak saya
dan Wahyudi bercakap melalui panggilan video. Saya pikir,
146

