Page 40 - Lolotabang dan Biuqbiuq
P. 40
Ia membayangkan adiknya saat ini sedang terbaring lemah
di rumah seorang diri. Tak ada yang merawat sakitnya, tak ada yang
menemaninya. Air mata Lolotabang langsung deras mengucur. Ia
segera berlutut di dekat pohon pisang itu dan berdoa, “Ya Tuhan,
sembuhkanlah adikku!”
Setelah beberapa hari, kondisi pohon pisang peninggalan
Biuqbiuq semakin mengenaskan. Daun-daunnya kini berwarna
coklat dan kering, batangnya merunduk seolah akan rubuh.
Dengan cemas Lolotabang memperhatikan pohon pisang itu. Sakit
yang diderita Biuqbiuq pasti semakin parah. Tanpa pikir panjang
lagi ia langsung menemui Tuan Bangsawan yang baru saja kembali
dari perjalanannya.
“Tuan, saya rindu dengan kampung halaman saya,” ucap
Lolotabang takut-takut.
Tuan Bangsawan berpaling menatap Lolotabang.
Darahnya langsung menggelegak. Ia sangat benci bila Lolotabang
mengungkit-ungkit tentang tempat asalnya itu, sebab itu akan
mengingatkannya kembali kepada sosok Biuqbiuq yang telah
dengan susah payah dihapusnya dari kehidupan calon istrinya itu.
“Kita akan segera menikah dalam waktu dekat. Jadi, jangan
minta macam-macam!” hardik Tuan Bangsawan.
Hati Lolotabang mengerut mendengarnya. Ia pun berlalu
dari hadapan Tuan Bangsawan. Sambil menahan tangis, ia menuju
pohon pisang di samping kamarnya. Dalam benaknya, pohon itu
berubah menjadi tubuh ringkih Biuqbiuq.
34