Page 35 - Lolotabang dan Biuqbiuq
P. 35
memberi tanda pada pengawal untuk berhenti. Biuqbiuq tidak
menyia-nyiakan waktunya yang sangat sempit.
“Izinkan saya menanam tunas pisang di samping istana.
Ini adalah kenang-kenangan tanda perpisahan saya dengan kakak
saya.”
Tampak Tuan Bangsawan berpikir sejenak.
“Baik, aku kabulkan permohonanmu. Akan tetapi, setelah
tunas pohon pisang itu kau tanam, kau harus segera meninggalkan
istana ini!” katanya.
“Tentu saja, Tuan. Terima kasih banyak atas kebaikan hati
Tuan.”
Tanpa membuang waktu lagi, sebelum sang bangsawan
berubah pikiran, Biuqbiuq segera mengeluarkan tunas pohon
pisang dari dalam kantong yang diikatkan di pinggangnya. Tunas
pohon pisang itu ditanam tepat di samping kamar kakaknya.
Lolotabang memperhatikan perbuatan adiknya itu dari balik
tirai jendela kamarnya, ditemani Tuan Bangsawan. Ia tidak
diperbolehkan berbicara langsung dengan adiknya itu.
Setelah tunas pisang selesai ditanam, Biuqbiuq berdiri dan
memandang ke arah jendela kamar Lolotabang. Ia yakin kakaknya
berada di balik tirai jendela itu. Dengan suara cukup keras ia
berkata, “Jika pohon pisang ini layu, itu artinya aku sakit keras.
Jika ia mati, berarti aku juga telah mati.”
Kata-kata itu ditujukan kepada Lolotabang. Sang kakak
terkesiap mendengar ucapan Biuqbiuq, tetapi tidak dapat berkata
29