Page 42 - Lolotabang dan Biuqbiuq
P. 42
Setelah dua hari dua malam sang dukun menari dan
menyanyi serta menyembur-nyembur muka Lolotabang dalam
suatu ritual pengobatan, wanita itu terlihat mulai tenang. Dengan
bangga dukun itu pulang sambil membawa sekantong uang
sebagai ucapan terima kasih dari Tuan Bangsawan. Ia sangat yakin,
kesaktiannya telah menyembuhkan calon istri sang bangsawan.
Lolotabang kini menjadi pemurung dan pendiam. Setiap
hari ia merenung sambil menangis terisak-isak di ambang jendela
kamarnya. Ia tak berhenti menangis hingga kedua matanya yang
indah menjadi bengkak. Ia menolak makan dan minum sehingga
lama kelamaan wajahnya menjadi tirus dan pucat.
Lolotabang memandang tanah bekas pohon pisang milik
Biuqbiuq ditanam. Ia telah memerintahkan batang pohon itu
dikubur di sana. Ia merasa, jiwanya juga telah terkubur bersama
pohon pisang itu. Yang tinggal hanyalah raganya yang kasat mata,
yang kini semakin lemah dan kurus.
“Lolotabang,” panggil Tuan Bangsawan.
Lolotabang menoleh. Calon suaminya menghampirinya
dengan senyum yang jelas dipaksakan. Hati lelaki tua itu hancur
melihat keadaan calon istrinya itu. Tubuh Lolotabang yang indah
telah mengurus, kulitnya kering karena tidak pernah lagi dirawat,
wajahnya kusam, dan pandangan matanya terasa kosong, tanpa
sinar kehidupan.
Tuan Bangsawan menggenggam erat kedua telapak tangan
Lolotabang yang terkulai lemah di pangkuannya.
36