Page 14 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 14
yang harus dicontoh oleh anak-anak sekarang? Sementara
mereka hanya melihat adat sebatas seremonial dan pidato
pasambahan, salendang tanduk dan sarawa galembong. Lalu
siapa yang salah?. Kita tahu, bahwa kalau bayi dilahirkan
tuna rungu, pasti setelah besar akan menjadi bisu, sebab
telinganya tidak pernah mendengar suara untuk contoh.
Ada dua versi cara pengangkatan panghulu (pemimpin
suku) baru di Minangkabau. Yang pertama menurut Mazhab
Koto Piliang, panghulu pengganti harus kamanakan biologis
dari yang digantikan. Lain pula menurut Mazhab Bodi
Chaniago harus kepada kamanakan generasi secara
bergiliran. Karena selama ini terpaut dengan kedua sistem
tersebut, sulit menemukan figur seorang pemimpin yang
handal. Seandainya cara-cara lama dapat diganti dengan
kriteria “mungkin sarato patuik” (mungkin serta patut), hal
itu bisa diatasi. Bahwa si calon pengganti punya hak-hak
adat, itu dinamakan”mungkin”. Tapi apakah dia “patuik”,
pantas dan mampu? Di situ permasalahanya. Ukuran
Kelayakan bagi seorang panghulu adalah seharusnya
memiliki ilmu adat dengan seluk-beluknya, paham dengan
dasar-dasar agama Islam serta pengamalanya, punya
pengetahuan umum yang memadai. Dan yang teramat
penting, menguasai ilmu manajemen serta bersiar
komunikatif. Tanpa semua itu, bagaimana nasib sebuah
biduak tirih pandayuang bilah sanggup menantang badai di
tengah “Laut” Minangkabau yang sedang bergejolak?.
Akibat pengaruh televisi dan gaya anak-anak rantau,
orang kampung telah berlagak “kekota-kotaan”. Apakah
logat bicaranya yang ceplas-ceplos, pergaulan bebas muda-
mudinya dan aksesorisnya yang sudah jauh menyimpang
dari kepribadian Minang. Sebagian ibu-ibu muda bangga
Menyingkap Wajah xiii
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya