Page 11 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 11
jembatan antara kedua kutub itu sudah lapuk. Kalau dulu
jembatan penghubungnya dari batang kelapa yang hanya
dilalui bendi dan gerobak, kini dia akan diseberangi oleh
truk besar dan kontainer. Bahwa orang dulu beradat secara
dogma, masyarakat sekarang dengan logika. Pola pikirnya
tidak lagi taqlid seperti orang sisuak (dahulu) beramal tanpa
ilmu. Mereka sudah kiritis dan tak zamannya lagi berpikir
kaku. Kaum terpelajar menilai bahwa adat itu sudah
kardaluwarsa, tak relevan lagi untuk dipertahankan. Basa
basinya simbolik penuh kepura-puraan, pepatahnya
kontroversi tak masuk akal. Seseorang yang akan
menyantap makanannya mengajak orang selapau, padahal
ajakan itu tidak serius: “munafik”. Marapulai (pengantin
pria) yang baru menikah harus dijemput dulu untuk pulang
ke rumah istrinya: “angkuh”. Alam dijadikan guru, mengapa
manusia sebagai makhluk sempurna (dibanding malaikat
yang tanpa naisu dan hewan yang tanpa akal) harus belaiar
dari benda mati: “bodoh”. Ada pepatah berbunyi, “Iyokan
nan diurang, lakukan nan dek awak”. “itu curang dan arogan”.
Dan banyak lagi hujatan-hujatan kepada Adat Minangkabau.
Yang paling memprihatinkan, ada dikalangan
pendakwah muda yang sering berceramah dengan suara
sumbang tentang beberapa aturan adat yang dianggapnya
menyimpang dari syariat. Di antaranya, menghukum haram
status harta pusaka tinggi; pewarisan harta pusaka kepada
kemenakan mengingkari hukum Faraidh; bernasab kepada
ibu melawan Sunnah; larangan kawin sesuku itu bid’ ah;
hukum pagang gadai adalah riba dan banyak lagi yang
lainnya. Padahal, kalau disimak uraian dan dalilnya,
terindikasi kalau buya-buya junior ini belum sepenuhnya
menguasai adat sehingga salah kaprah dalam berdakwah
x
Yus Dt. Parpatih