Page 39 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 39
gembira lagi orang Minang bakal memiliki kapal besar penuh
muatan sebagai taruhan memenangkan pertandingan
mengadu kerbau. “Silahkan berenang balik ke Jawa”, kata ninik
mamak mereka.
Pada hari yang telah ditentukan, semua anak negeri
tumpah ruah memenuhi tanah lapang menonton
pertandingan. Kedua belah pihak sudah siap melepas kerbau
masing-masing. Tinggal tunggu aba-aba. Maka dibukalah
kandang kedua kerbau yang letaknya berseberangan. Suasana
tegang harap-harap cemas. Penonton bersorak sorai.
Keduanya saling mengejar ke tengah arena. Kerbau Jawa lebih
cepat memburu, disangka anaknya sudah datang mintak susu.
Sebaliknya kerbau Minang yang kehausan tertatih-tatih
menemui induk untuk menyusu. Maka bertemulah kedua
kerbau petarung itu. Tapi apa yang terjadi? Jangankan
berkelahi malah keduanya sama-sama melepas rindu.
Si anak kerbau menyeruduk ke bawah perut “ibunya”
lantas menyusu dengan lahapnya. Sebagaimana diketahui
bahwa kebiasaan bangsa sapi atau kerbau menyusu dengan
menyeruduk perut induknya untuk memeras mengisap air
susu. Padahal dimoncong itu sudah dipasangi sepasang taji
pengganti tanduk. Saat itulah terjadi peristiwa yang
menghebohkan. Akibat perut kerbau Jawa berulang-ulang
ditusuk moncong bertaji besi, terburailah isi perutnya dan
rebah ke tanah. Selanjutnya sianak kerbau terus menyusu
tanpa menghiraukan nasib si pemberi susu yang kesakitan.
Apakah kerbau Jawa marah? Tidak. Mengapa tidak lari saja?
Juga tidak! Ditahankan sakit karena begitulah cinta sejati ibu.
Asalkan anaknya kenyang dan bahagia, dia rela mati berkalang
tanah. Demikianlah jalannya pertandingan tragis itu. Kerbau
10
Yus Dt. Parpatih