Page 16 - eModul Bhs Indonesia
P. 16
Pemilihan Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
juga didasari beberapa pertimbangan lainnya. Salah
satunya adalah sifat Bahasa Melayu yang sederhana dan
mudah dipelajari. Tidak seperti Bahasa Jawa yang
memiliki struktur bahasa yang kompleks, termasuk
tingkatan-tingkatan bahasa yang berlapis, Bahasa Melayu
menawarkan kemudahan dalam penguasaan, baik secara
fonetis maupun gramatikal. Keputusan ini juga
mencerminkan kearifan para pemimpin bangsa pada masa
itu, yang menghindari kesan pengistimewaan suku atau
daerah tertentu.
Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap Bahasa
Melayu juga menjadi faktor penting. Meskipun jumlah
penutur Bahasa Melayu pada masa itu lebih sedikit
dibandingkan Bahasa Jawa, masyarakat dari berbagai latar
belakang etnis menerima Bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan tanpa keberatan. Hal ini memperkuat legitimasi
bahasa ini untuk diangkat sebagai bahasa nasional.
Sejarah panjang penggunaan Bahasa Melayu
sebagai lingua franca diperkuat oleh bukti-bukti sejarah
berupa prasasti kuno, seperti Kedukan Bukit (683 M),
Talang Tuo (684 M), dan Karang Brahi (688 M). Pada
masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Bahasa Melayu bahkan
telah digunakan sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran agama Buddha serta sebagai media
administrasi dan perdagangan. Peran ini terus berlanjut
hingga masa penyebaran Islam, ketika Bahasa Melayu
berkembang sebagai sarana dakwah dan komunikasi di
berbagai wilayah nusantara.
Pengaruh Bahasa Melayu semakin meluas dengan
masuknya unsur-unsur baru dari bahasa-bahasa asing,
seperti Sanskerta, Arab, Parsi, Portugis, Belanda, dan Cina.
Penyerapan ini memperkaya kosa kata dan menambah
kelenturan Bahasa Melayu untuk beradaptasi dengan
berbagai kebutuhan komunikasi. Sebagai contoh, kata-kata
seperti "samudra," "kalbu," "cambuk," dan "polisi"
8