Page 43 - Buku 9
P. 43
Penerapan asas rekognisi tersebut juga disertai dengan
asas subsidiaritas. Asas subsidiaritas berlawanan dengan
asas residualitas yang selama ini diterapkan dalam UU No.
32/2004. Asas residualitas yang mengikuti asas desentral-
isasi menegaskan bahwa seluruh kewenangan dibagi habis
antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan terakhir
di tangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan asas desen-
tralisasi dan residualitas itu, desa ditempatkan dalam sistem
pemerintahan kabupaten/kota, yang menerima pelimpahan
sebagian (sisa-sisa) kewenangan dari bupati/walikota.
Prinsip subsidiaritas menegaskan bahwa dalam semua
bentuk koeksistensi manusia, tidak ada organisasi yang
harus melakukan dominasi dan menggantikan organisasi
yang kecil dan lemah dalam menjalankan fungsinya. Sebali-
knya, tanggungjawab moral lembaga sosial yang lebih kuat
dan lebih besar adalah memberikan bantuan (dari bahasa
Latin, subsidium afferre) kepada organisasi yang lebih ke-
cil dalam pemenuhan aspirasi secara mandiri yang ditentu-
kan pada level yang lebih kecil-bawah, ketimbang dipaksa
dari atas (Alessandro Colombo, 2012). Dengan kalimat lain,
subsidiarity secara prinsipil menegaskan tentang alokasi
atau penggunaan kewenangan dalam tatanan politik, yang
notabene tidak mengenal kedaulatan tunggal di tangan pe-
merintah sentral. Subsidiaritas terjadi dalam konteks trans-
formasi institusi, sering sebagai bagian dari tawar-menawar
(bargaining) antara komunitas/otoritas yang berdaulat
(mandiri) dengan otoritas lebih tinggi pusat. Prinsip sub-
sidiarity juga hendak mengurangi risiko-risiko bagi subunit
42 REGULASI BARU,DESA BARU

