Page 39 - Buku 9
P. 39

dengan daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi
           terhadap perbedaan dan keragaman.
              Dalam  konteks multikultural itu, beragam pengertian
           rekognisi hadir. Charles Taylor (1992), misalnya, memaha-
           mi rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”,
           yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau
           komunitas dengan cara  menjamin  hak-hak  mereka;  serta
           “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap identitas indi-
           vidu, kelompok atau komunitas dengan cara menghorma-
           ti dan membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel
           Honneth (1996) secara sederhana memahami rekognisi da-
           lam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan sta-
           tus dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan.
           Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan sosial.  Bagi
           Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang
           bebas bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa
           rasa malu.  Lebih radikal lagi, Nancy Fraser (1996) melihat
           rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk melawan
           ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar memberi-
           kan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap iden-
           titas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah
           keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus dis-
           ertai dengan redistribusi. Rekognisi kultural semata hanya
           mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat keti-
           dakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena itu rekog-
           nisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural
           justice), dan redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi
           (economic justice).




           38                                          REGULASI BARU,DESA BARU
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44